Apakah Istinja Perlu Niat?. Image generated by AI
Apakah Istinja Perlu Niat? . Image generated by AI

Apakah Istinja Perlu Niat? Menjawab Keraguan Seputar Bersuci

Istinja’, atau membersihkan qubul dan dubur setelah buang air kecil atau besar, adalah bagian penting dari taharah (bersuci) dalam Islam. Ini adalah langkah awal sebelum seorang muslim bisa melaksanakan ibadah yang mempersyaratkan suci dari hadats, seperti salat. Namun, muncul pertanyaan di benak sebagian orang: apakah istinja perlu niat seperti halnya wudhu atau mandi wajib?

Memahami hukum niat dalam istinja’ penting agar ibadah kita sah dan diterima di sisi Allah SWT. Artikel ini akan mengupas tuntas masalah ini berdasarkan pandangan ulama fikih, termasuk tinjauan dari salah satu kitab rujukan utama madzhab Syafi’i.

Memahami Pentingnya Niat dalam Ibadah

Dalam ajaran Islam, niat memegang peran sentral dalam setiap amal perbuatan, terutama yang berkaitan dengan ibadah. Niatlah yang membedakan antara kebiasaan biasa dengan perbuatan yang bernilai pahala di sisi Allah. Landasannya adalah sabda Rasulullah ﷺ yang terkenal:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya segala amal perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkan.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi dasar umum bagi banyak hukum fikih, termasuk dalam bab taharah. Namun, bagaimana penerapan kaidah niat ini spesifik pada istinja?

Dua Jenis Bersuci: Najis dan Hadats

Para ulama fikih membagi bersuci menjadi dua kategori utama:

  1. Bersuci dari Najis (إزالة النجاسة): Menghilangkan atau membersihkan kotoran fisik yang dianggap najis menurut syariat, seperti urine, tinja, darah, atau bangkai.
  2. Bersuci dari Hadats (رفع الحدث): Menghilangkan keadaan hukum yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah tertentu, yaitu hadats kecil (memerlukan wudhu atau tayamum) dan hadats besar (memerlukan mandi wajib atau tayamum).

Perbedaan antara dua jenis bersuci ini berpengaruh pada hukum niat.

Apakah Menghilangkan Najis Perlu Niat?

Secara umum, menghilangkan najis pada badan, pakaian, atau tempat tidak memerlukan niat. Mengapa? Karena tujuan utamanya adalah semata-mata menghilangkan kotoran fisik. Jika najis hilang dengan sendirinya atau karena sebab lain tanpa ada niat dari manusia (misalnya pakaian yang terkena najis menjadi bersih karena air hujan), maka najis tersebut dianggap telah hilang dan benda tersebut suci. Ini berbeda dengan ibadah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan membutuhkan kesengajaan.

Apakah Menghilangkan Hadats Perlu Niat?

Sebaliknya, menghilangkan hadats, baik kecil maupun besar, memerlukan niat menurut mayoritas ulama. Wudhu, mandi wajib, dan tayamum adalah ibadah ritual yang dilakukan untuk menghilangkan keadaan hadats, sehingga memerlukan niat yang membedakannya dari sekadar membersihkan diri secara fisik.

Posisi Istinja’ dalam Pembahasan Niat

Istinja’ dilakukan setelah buang air kecil (niat istinja buang air kecil) atau buang air besar (niat istinja buang air besar). Tujuannya adalah membersihkan sisa-sisa kotoran (urine dan tinja) yang keluar dari tubuh. Kotoran ini termasuk kategori najis.

Baca Pengertian Istinja agar lebih memahami pengertian dan tujuan istinja adalah menghilangkan kotoran atau najis.

Berdasarkan pembagian di atas, istinja’ lebih condong pada kategori menghilangkan najis. Ini adalah pembersihan fisik dari kotoran yang keluar dari tubuh. Oleh karena itu, pandangan yang kuat di kalangan ulama adalah bahwa istinja’ itu sendiri tidak memerlukan niat khusus agar sah. Cukup dengan melakukan perbuatan membersihkan qubul dan dubur hingga bersih dari sisa najis, maka istinja’nya sah.

Bacaan niat istinja atau lafadz niat istinja, serta niat istinja dari kencing atau niat istinja buang air kecil dan besar, bukanlah persyaratan mutlak dalam pandangan mayoritas ulama. Fokus utamanya adalah tercapainya kebersihan dari najis.

Hukum Niat Istinja Menurut Madzhab Syafi’i dan Ulama Lain

Meskipun pandangan umum menyatakan istinja’ tidak memerlukan niat khusus, penting untuk melihat rujukan dari kitab-kitab fikih. Salah satunya adalah Kitab Al-Hawi Al Kabir karya Imam Mawardi, seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Berikut adalah kutipan relevan dari kitab tersebut:

Redaksi Ibarat dari Al-Hawi Al Kabir juz 1 hlm. 87:

قال الشافعي رضي الله عنه: ولا يجزئ طهارة من غسل ولا وضوء إلا بنية واحتج على من أجاز الوضوء بغير نية بقوله: إنما الأعمال بالنيات، ولا يجوز التيمم إلا بنية وهما طهارتان فكيف يفترقان

قال الماوردي: وهذا كما قال: الطهارة ضربان من نجس وحدث

فأما طهارة النجس فلا تفتقر إلى نية إجماعا لأمرين

أحدهما: أن إزالة النجاسة إنما هو تعبد مفارقة وترك، والتروك لا تفتقر إلى نية كسائر ما أمر باجتنابه في عباداته

والثاني: أنه لما طهر ما أصبته النجاسة من الأرض والثوب بمرور السيل عليه وإصابة الماء له علم أن القصد فيه غير معتبر، وأن النية في إزالته غير واجبة

فأما طهارة الحدث فلا تصح إلا بنية سواء كانت بمائع كالوضوء والغسل، أو بجامد كالتراب وبه قال مالك، وأحمد، وإسحاق، وجمهور أهل الحجاز. وقال الأوزاعي والحسن بن صالح الكوفي تصح بغير نية سواء كانت بمائع أو جامد1

Terjemahan dan Penjelasan:

(Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, intinya adalah) Imam Syafi’i mewajibkan niat untuk wudhu, mandi, dan tayamum (semua yang menghilangkan hadats) berdasarkan hadis niat.

Imam Mawardi memperkuat pandangan ini dan menjelaskan bahwa bersuci dibagi dua: dari najis dan dari hadats. Menghilangkan najis tidak perlu niat berdasarkan ijmak karena sifatnya adalah menjauhi dan membersihkan kotoran fisik yang bahkan bisa hilang tanpa kesengajaan manusia.

Sementara bersuci dari hadats wajib niat, dan ini pendapat mayoritas ulama seperti Imam Malik, Ahmad, Ishaq, dan mayoritas ulama Hijaz, meskipun ada pendapat minoritas yang membolehkan tanpa niat.

Dari kutipan di atas, jelas bahwa Imam Mawardi (dari madzhab Syafi’i) menyatakan adanya ijmak (konsensus) bahwa menghilangkan najis tidak memerlukan niat. Istinja’ sebagai proses membersihkan sisa najis setelah buang air, termasuk dalam kategori menghilangkan najis ini.

Niat Cebok dan Bacaan Istinja’

Secara syariat, tidak ada doa istinja atau doa istinja yang pendek yang spesifik diajarkan oleh Nabi ﷺ untuk dibaca saat istinja’ itu sendiri. Membersihkan najis cukup dengan menggunakan air atau media lain yang suci yang bisa memenuhi syarat digunakan istinja hingga bersih.

Namun, sebagian umat muslim mungkin membaca doa-doa umum sebelum atau sesudah masuk kamar mandi atau toilet, dan memasukkannya dalam kategori doa istinja buang air besar dan kecil sehingga banyak yang mencari di mesin pencarian sebuah kata kunci “doa istinja dan artinya”.

Doa-doa ini biasanya merupakan doa masuk dan keluar kamar mandi, atau doa memohon perlindungan dari syaitan. Membaca doa-doa ini baik adanya sebagai adab, namun bukan merupakan bagian wajib dari proses istinja’ itu sendiri.

Bacaan niat istinja dalam bahasa arab atau pun terjemahannya juga tidak disyaratkan secara syar’i untuk sahnya istinja’. Niat itu letaknya di hati, dan dalam konteks menghilangkan najis, membasuh untuk sekadar meembersihkan qubul dan dubur dari kotoran sudah cukup secara otomatis, tidak memerlukan niat khusus untuk ibadah.

Kesimpulan

Kembali pada pertanyaan utama, apakah istinja perlu niat? Berdasarkan tinjauan dalil dan pendapat ulama, termasuk pandangan dalam kitab Al-Hawi Al Kabir, istinja’ sebagai proses membersihkan najis sisa buang air tidak memerlukan niat khusus agar sah. Fokus utama dalam istinja’ adalah tercapainya kebersihan dari najis.

Meskipun demikian, melakukan istinja’ dengan kesadaran bahwa ini adalah bagian dari menjaga kebersihan yang diperintahkan agama tentu lebih baik dan bernilai pahala. Namun, ketiadaan niat khusus untuk istinja’ tidak membatalkan keabsahannya.

Doa setelah istinja yang biasa dibaca adalah doa keluar kamar mandi, bukan doa khusus untuk istinja’ itu sendiri. Proses niat istinja bukanlah syarat sahnya pembersihan dari najis.

  1. Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn Muḥammad ibn Ḥabīb al-Māwardī, al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqh Madhhab al-Imām al-Shāfiʿī wa Huwa Sharḥ Mukhtaṣar al-Muzanī, ed. ʿAlī Muḥammad Muʿawwaḍ and ʿĀdil Aḥmad ʿAbd al-Mawjūd, 1st ed. (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1999), vol. 1, p. 87. ↩︎