Memahami Macam Macam Najis dalam Islam dan Cara Mensucikannya
Macam Macam Najis dalam Islam. Source: pixabay.com

Memahami Macam Macam Najis dalam Islam dan Cara Mensucikannya

Dalam ajaran Islam, kebersihan adalah bagian penting dari iman. Salah satu aspek kebersihan yang perlu dipahami dengan baik adalah mengenai najis. Mengetahui macam macam najis sangat penting agar ibadah kita sah dan diterima.

Artikel ini akan menjelaskan jenis jenis najis dalam Islam, pembagiannya, contoh-contohnya, serta bagaimana cara menyucikan najis sesuai tuntunan syariat.

Apa Itu Najis? Mengapa Penting Mengetahuinya?

Najis adalah setiap benda yang kotor dan menjijikkan menurut pandangan syariat Islam, yang menghalangi sahnya shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkan kesucian. Mengetahui jenis najis dalam Islam adalah langkah awal untuk memastikan tubuh, pakaian, dan tempat ibadah kita suci.

Pelajari juga: Pengertian Najis Secara Bahasa dan Istilah

Jika kita tidak tahu apa saja yang termasuk macam najis dan bagaimana cara membersihkannya, maka ibadah kita bisa tidak sempurna.

Najis Ainiyah dan Najis Hukmiyah: Pembagian Awal

Secara umum, para ulama membagi najis menjadi dua jenis utama berdasarkan keberadaan zatnya:

Najis ‘Ainiyah

Najis ‘Ainiyah Ini adalah jenis najis yang zat atau wujudnya masih ada dan bisa terlihat oleh mata, atau tercium baunya, atau terasa rasanya. Ibarat Fiqh Manhaji menyebutkan:

النجاسة العينية: هي كل نجاسة لها جرم مشاهد، أولها صفة ظاهرة من لون أو ريح، كالغائط أو البول أو الدم

Terjemahan: Najis ‘Ainiyah: Adalah setiap najis yang memiliki wujud yang terlihat, atau memiliki sifat yang tampak seperti warna atau bau, seperti tinja, air kencing, atau darah.

Contoh najis ainiyah antara lain najis tinja, najis air kencing, najis darah haid, najis muntah, dan lainnya yang wujudnya masih ada.

Najis Hukmiyah

Najis Hukmiyah Ini adalah jenis najis yang zat atau wujudnya sudah tidak terlihat, baunya tidak tercium, dan rasanya tidak ada lagi, misalnya karena sudah mengering atau hilang. Namun, status hukumnya sebagai najis masih melekat pada tempat yang terkena najis sampai disucikan dengan air. lebih lanjut ibarat Fiqh Manhaji menjelaskan:

والنجاسة الحكمية: كل نجاسة جفت وذهب أثرها، ولم يبق لها أثر من لون أو ريح، وذلك مثل بول أصاب ثوباً ثم جف، ولم يظهر له أثر

Terjemahan: Dan Najis Hukmiyah: Adalah setiap najis yang telah kering dan hilang bekasnya, serta tidak tersisa lagi bekasnya berupa warna atau bau. Contohnya adalah air kencing yang mengenai pakaian lalu mengering, dan tidak terlihat lagi bekasnya.

Meskipun secara fisik terlihat bersih, area yang terkena najis hukmiyah tetap harus disucikan dengan air.

Najis Terbagi Menjadi 3 yaitu Mughallazhah, Mukhaffafah, dan Mutawassithah

Selain pembagian Ainiyah dan Hukmiyah, pembagian najis yang sangat penting diketahui adalah berdasarkan tingkat kesulitan cara menyucikan najis tersebut. Najis terbagi menjadi 3 yaitu:

  1. Najis Mughallazhah (berat)
  2. Najis Mukhaffafah (ringan)
  3. Najis Mutawassithah (sedang).

Jadi, najis ada berapa macam dalam klasifikasi ini? Ada tiga. Mari kita sebutkan tiga macam najis ini secara detail.

Najis Mughallazhah (Najis Berat dalam Islam)

Najis mughallazhah adalah najis berat dalam Islam yang memiliki cara bersuci dari najis paling khusus dan memberatkan. Ini adalah jenis najis yang berasal dari anjing dan babi.

النجاسة المغلظة: وهي نجاسة الكلب والخنزير، ودليل تغليظها أنه لا يكفي غسلها بالماء مرة كباقي النجاسات، بل لا بد من غسلها سبع مرات إحداهن بالتراب، كما مر في حديث “ولوغ الكلب” وقيس عليه الخنزير لأنه أسوأ حالاً منه 

Terjemahan: Najis Mughallazhah: Yaitu najis anjing dan najis babi. Dalil (bukti) yang menunjukkan beratnya najis ini adalah bahwa tidak cukup mencucinya dengan air satu kali seperti najis lainnya, tetapi wajib mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis tentang “jilatan anjing”, dan babi diqiyaskan (dianalogikan) kepadanya karena keadaannya (kenajisannya) lebih buruk dari anjing.

Contoh najis mughallazhah yang paling utama adalah segala sesuatu yang berasal dari anjing dan babi, seperti air liurnya (najis air liur anjing), kotorannya, air kencingnya, darahnya, dagingnya, atau bagian tubuh lainnya yang basah dan mengenai sesuatu. Bahkan najis sperma anjing pun termasuk dalam kategori ini.

Cara menyucikan najis mughallazhah adalah dengan mencuci area yang terkena najis sebanyak tujuh kali. Salah satu dari tujuh cucian tersebut wajib dicampur atau menggunakan debu/tanah yang suci.

Najis Mukhaffafah (Najis Ringan dalam Islam)

Najis mukhaffafah adalah najis ringan dalam Islam yang memiliki cara bersuci dari najis yang paling mudah dibandingkan dua jenis lainnya. Ini khusus untuk najis air kencing bayi laki-laki.

النجاسة المخففة: وهي بول الصبي الذي لم يأكل إلا اللبن ولم يبلغ سنه حولين، ودليل كونها مخففة أنها يكفي رشها بالماء، بحيث يعم الرش جميع موضع النجاسة من غير سيلان  

Terjemahan: Najis Mukhaffafah: Yaitu najis air kencing bayi laki-laki yang belum makan (selain air susu) dan usianya belum mencapai dua tahun. Dalil (bukti) yang menunjukkan bahwa najis ini ringan adalah cukup dengan memercikannya dengan air, sekiranya percikan tersebut merata ke seluruh tempat najis tanpa mengalirkan air.

Contoh najis mukhaffafah hanyalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan padat, hanya minum ASI atau susu formula, dan usianya belum genap dua tahun. Jika bayi tersebut sudah mulai makan makanan lain, atau usianya sudah dua tahun atau lebih, air kencingnya menjadi najis mutawassithah. Air kencing bayi perempuan, meskipun belum makan apa pun, juga termasuk najis mutawassithah.

Cara menyucikan najis mukhaffafah adalah cukup dengan memercikkan air yang suci ke seluruh area yang terkena najis hingga rata, tanpa perlu mengalirkan air seperti umumnya menyucikan najis. Dalilnya adalah hadis berikut:

روى البخاري (2021)، ومسلم (287) وغيرهما: عن أم قيس بنت مِحْصن رضي الله عنها: أنها أتت بابن لها صغير لم يأكل الطعام، إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فبال على ثوبه، فدعا بماء فنضحه ولم يغسله.  

[فنضحه: رشه بحيث عم المحل بالماء وغمره بدون سيلان]

Terjemahan: Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2021), Muslim (287) dan lainnya: Dari Ummu Qais binti Mihshan radhiyallahu ‘anha: Bahwasanya dia datang membawa putranya yang masih kecil yang belum makan makanan (selain susu) kepada Rasulullah SAW, lalu anak itu kencing di pakaian beliau. Maka beliau meminta air lalu memercikannya dan tidak mencucinya.

[فنضحه: memercikannya sehingga mengenai seluruh tempat (yang terkena najis) dengan air dan menutupinya tanpa mengalirkan air] ..

Hadis ini menunjukkan keringanan dalam mensucikan air kencing bayi laki-laki yang memenuhi syarat tersebut.

Najis Mutawassithah (Najis Sedang dalam Islam)

Najis mutawassithah adalah najis sedang dalam Islam, yaitu semua macam macam najis lainnya yang bukan najis mughallazhah atau mukhaffafah. Kategori ini mencakup jenis jenis najis yang paling banyak.

النجاسة المتوسطة: وهي غير الكلب والخنزير، وغير بول الصبي الذي لم يطعم إلا لبن، وذلك مثل بول الإنسان، وروث الحيوان، والدم. وسميت متوسطة لأنها لا تظهر بالرش، ولا يجب فيها تكرار الغسل إذا زالت عينها بغسلة واحدة  

Terjemahan: Najis Mutawassithah: Yaitu selain najis anjing dan najis babi, dan selain najis air kencing bayi laki-laki yang hanya mengonsumsi air susu. Contohnya adalah air kencing manusia, najis kotoran hewan, dan darah. Dinamakan mutawassithah (sedang) karena tidak cukup hanya dengan memercikan (seperti najis mukhaffafah), dan tidak wajib mengulang pencucian sampai 7 kali jika zat najisnya sudah hilang dengan sekali cuci.

Contoh najis mutawassithah sangat beragam, meliputi:

  • Air kencing manusia (dewasa maupun bayi perempuan)
  • Najis tinja manusia
  • Najis kotoran hewan (selain anjing dan babi)
  • Darah, termasuk najis darah haid, darah nifas, darah istihadhah, atau darah lain yang mengalir.
  • Najis nanah
  • Najis muntah (dari manusia atau hewan, termasuk bayi yang hanya minum susu. Hanya saja gumoh yang masih tersisa di mulut bayi dima’fu saat ia menempelkan mulutnya di puting ibunya )
  • Najis madzi (cairan bening kekuningan yang keluar saat syahwat)
  • Najis wadi (cairan kental keruh yang keluar setelah buang air kecil)
  • Najis bangkai (hewan yang mati tidak disembelih secara syar’i, kecuali bangkai ikan dan belalang)
  • Najis minuman keras (khamr) dan segala benda cair yang memabukkan
  • Najis air susu hewan haram dimakan (seperti susu babi, susu beruang dan lain-lain)
  • Najis air yang keluar dari mulut binatang
  • Najis luka atau nanah bercampur darah dalam beberapa kasus najisnya dima’fu

Cara menyucikan najis mutawassithah adalah dengan mencucinya menggunakan air yang suci sampai hilang zat najisnya, warna, dan baunya. Jika salah satu dari tiga sifat (warna, bau, rasa) masih tersisa meskipun sudah dicuci berkali-kali dan sulit dihilangkan, maka itu dimaafkan.

Tidak ada ketentuan jumlah cucian, cukup sampai yakin najisnya sudah hilang. Dalil pensucian beberapa contoh najis mutawassithah antara lain:

Tentang tinja manusia:

روى البخاري (214) عن أنس – رضي الله عنه – قال: كان النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا تبرز لحاجته أتيته بماء فيغسل به 

[تبرز لحاجته: خرج إلى البزار وهو الفضاء، ليقضي حاجته من بول أو غائط]

Terjemahan: Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (214) dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Adalah Nabi SAW, apabila beliau buang hajat, aku datang membawakan air kepadanya lalu beliau beristinja’ dengannya (mencuci kemaluannya).

[تبرز لحاجته: keluar ke tempat buang hajat, untuk menunaikan hajatnya berupa buang air kecil atau buang air besar]. Hadis ini menunjukkan bahwa najisnya air kencing dan tinja manusia disucikan dengan dicuci menggunakan air.

Tentang madzi:

وروى البخاري (176)، ومسلم (303): عن على – رضي الله عنه – قال: كنت رجلاً مذاءً، فاستحييت أن أسال رسول الله – صلى الله الله عليه وسلم -، فأمرت المقداد بن الأسود فسأله، فقال: “وفيه الوضوء”. ولمسلم “يغسل ذكره ويتوضأ” 

[مذاء كثير خروج المذي، وهو ماء أصفر رقيق يخرج غالباً عند ثوران الشهوة]

Terjemahan: Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (176), dan Muslim (303): Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar madzi, lalu aku merasa malu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW. Maka aku menyuruh Al-Miqdad bin Al-Aswad untuk bertanya kepada beliau. Beliau bersabda: “Dan padanya (keluarnya madzi) ada wudhu.” Dan dalam riwayat Muslim: “Dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”

[مذاء: banyak keluar madzi, yaitu air kuning encer yang keluar umumnya ketika syahwat bergejolak]. Perintah mencuci kemaluan setelah keluar madzi menunjukkan kenajisannya.

Tentang kotoran hewan:

وروى البخاري (155): عن عبدالله بن مسعود – رضي الله عنه – قال: أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – الغائط، فأمرني أن آتية بثلاثة أحجار، فوجدت حجرين والتمست الثالث فلم أجده، فأخلت روثه فاتيته بها، فأخذ الحجرين وألقى الروثة وقال: “هذا ركس”. والركس: النجس، والروثة براز الحيوان 

Terjemahan: Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (155): Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi SAW mendatangi tempat buang hajat, lalu beliau memerintahkanku untuk membawakannya tiga batu. Aku menemukan dua batu dan mencari yang ketiga namun tidak menemukannya. Lalu aku mengambil kotoran hewan (yang sudah kering) dan membawakannya. Beliau mengambil kedua batu tersebut dan melempar kotoran hewan itu seraya bersabda: “Ini adalah riks.” Dan riks artinya najis, dan rawtsah adalah tinja hewan. Penolakan Nabi SAW terhadap kotoran hewan (rawtsah) dan penyebutan “riks” (najis) menunjukkan kenajisan kotoran hewan.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa hadis-hadis tersebut menjadi dasar penetapan hukum kenajisan benda-benda tersebut.

فدلت هذه الأحاديث على نجاسة الأشياء المذكورة، وقبس ما لم يذكر منها على ما ذكر

Terjemahan: Maka hadis-hadis ini menunjukkan kenajisan benda-benda yang disebutkan, dan dianalogikan (disamakan hukumnya) apa yang tidak disebutkan darinya dengan apa yang disebutkan. Nash penutup dari ibarat Fiqh Manhaji ini menegaskan bahwa hukum kenajisan pada benda-benda yang disebutkan dalam hadis dapat menjadi dasar analogi untuk benda-benda lain yang serupa sifatnya.

Berbagai Contoh Najis Lainnya

Selain yang sudah disebutkan dalam kategori tiga jenis utama, ada beberapa contoh macam macam najis dan contohnya yang sering ditanyakan. Seperti dijelaskan dalam ibarat di atas, banyak jenis najis lainnya dianalogikan dari yang disebutkan dalam dalil.

Beberapa macam2 najis dan contohnya yang umum dikenal dalam fiqh Islam antara lain:

  • Najis darah (termasuk darah manusia atau hewan yang mengalir, kecuali yang dimaafkan seperti darah nyamuk atau kutu dalam beberapa kasus).
  • Najis air empedu (jika keluar dari tubuh).
  • Najis bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan, dan belalang). Termasuk bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup, baik binatang tersebut halal atau haram.
  • Najis minuman keras (khamr) dan segala jenis benda cair yang memabukkan.
  • Bagian tubuh hewan yang dipotong dari hewan yang masih hidup (kecuali rambut/bulu dari hewan yang halal dimakan).

Sebagian besar dari contoh-contoh ini termasuk dalam kategori najis mutawassithah dan cara bersuci dari najis ini adalah dengan mencucinya menggunakan air sampai hilang wujud, warna, dan baunya.

Pentingnya Kesucian (Taharah) dalam Ibadah

Mengetahui macam najis dan cara menyucikan najis adalah bagian dari memahami pentingnya taharah (kesucian) dalam Islam. Banyak ibadah penting, seperti shalat dan thawaf (mengelilingi Ka’bah), mensyaratkan pelakunya suci dari hadas dan najis. Oleh karena itu, membersihkan diri dari jenis jenis najis adalah kewajiban bagi setiap Muslim.

Kesimpulan

Memahami pembagian najis membantu kita dalam menjalankan ibadah dengan benar. Secara garis besar, najis ada berapa macam? Ada dua pembagian utama: Ainiyah (berwujud) dan Hukmiyah (tidak berwujud), serta tiga tingkatan berdasarkan cara bersuci dari najis: najis mughallazhah (berat seperti anjing dan babi), najis mukhaffafah (ringan seperti air kencing bayi laki-laki sebelum dua tahun yang hanya minum susu), dan najis mutawassithah (sedang, mencakup sebagian besar macam macam najis lainnya). Dengan memahami macam macam najis dan contohnya serta cara menyucikan najis yang sesuai, kita bisa memastikan kesucian diri dan sahnya ibadah kita.

Referensi

Khin, Muṣṭafā al-, Muṣṭafā Dīb al-Bughā, dan ʿAlī ash-Sharbajī. Al-Fiqh al-Manhaji. Vol. 1. Hlm. 40-42 Damascus: Darul Qalam, 1992.