Pengertian Istinja
Pengertian Istinja. Image generated by AI

Pengertian Istinja: Fondasi Kesucian Diri dalam Islam

Kebersihan adalah bagian penting dari ajaran Islam. Salah satu praktik kebersihan diri yang mendasar bagi setiap Muslim adalah Istinja’. Mungkin sebagian dari kita sudah sering mendengar kata ini, namun apa sebenarnya Pengertian Istinja itu? Mengapa praktik ini begitu ditekankan dalam syariat? Artikel ini akan mengupas tuntas Definisi Istinja, Arti Istinja, dan Makna Istinja dari berbagai sisi, termasuk penjelasan singkat tentang Hukum Istinja dalam Islam menurut tinjauan fiqih.

Redaksi Ibarat dan Terjemahannya

Kitab-kitab fiqih klasik banyak menjelaskan tentang istinja. Salah satunya seperti yang tertuang dalam Fiqh Manhaji Juz 1 halaman 45, yang menyatakan:

معناه: هو إزالة النجاسة أو تخفيفها عن مخرج البول أو الغائط. مأخوذ من النَّجاء وهو الخلاص من الأذى، أو النجوة: وهي المرتفع عن الأرض، أو النجو: وهو الحُزْء، أي ما يخرج من الدبر. سمي بذلك شرعاً، لأن المستنجي يطلب الخلاص من الأذى ويعمل على إزالته عنه، وغالباً ما يستتر وراء مرتفع من الأرض، أو نحوها، ليقوم بذلك
حكمه: وهو واجب، وقد دل على ذلك قول الرسول – صلى الله عليه وسلم – كما سيأتي خلال البحث1

Terjemahan:

Maknanya: Yaitu menghilangkan najis atau menguranginya dari tempat keluar air kencing atau tinja2. Diambil dari kata an-Najaa’ yang berarti keselamatan dari kotoran/gangguan, atau an-Najwah: yaitu tempat yang tinggi dari tanah, atau an-Najwu: yaitu kotoran, yakni apa yang keluar dari dubur.

Dinamakan demikian secara syariat, karena orang yang beristinja‘ mencari keselamatan dari kotoran/gangguan dan berusaha menghilangkannya dari dirinya, dan seringkali ia berlindung di balik tempat yang tinggi dari tanah atau sejenisnya untuk melakukannya.

Baca juga: Hikmah Thaharah dalam Islam: Membersihkan Diri untuk Dunia dan Akhirat

Hukumnya: Dan hukum istinja adalah wajib. Dalil mengenai hal ini akan datang selama pembahasan, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam3.

Arti Istinja Menurut Bahasa

Untuk memahami Arti Istinja, kita bisa melihat asal katanya dalam bahasa Arab. Seperti yang disebutkan dalam kutipan Fiqh Manhaji di atas, kata istinja’ berakar dari beberapa kata yang memberi gambaran tentang praktik ini:

Dari Kata “An-Najaa'” (النجاء)

Istinja menurut bahasa artinya bisa berasal dari kata an-Najaa’ yang berarti “keselamatan” atau “kebebasan dari gangguan/kotoran”. Makna ini sangat relevan karena Istinja adalah tindakan untuk membebaskan diri dari najis yang mengganggu kesucian dan kenyamanan. Saat kita bersuci setelah buang air, kita sedang mencari keselamatan dari najis.

Dari Kata “An-Najwah” (النجوة)

Kata an-Najwah berarti “tempat yang tinggi dari tanah”. Dahulu, sebelum adanya fasilitas toilet modern, orang sering mencari tempat yang agak tinggi atau tersembunyi untuk buang hajat demi menjaga adab dan kebersihan. Nama istinja’ juga dikaitkan dengan tindakan mencari tempat yang privat ini sebelum membersihkan setelah buang air besar atau membersihkan setelah buang air kecil.

Dari Kata “An-Najwu” (النجو)

Kata an-Najwu secara spesifik berarti “kotoran” atau “apa yang keluar dari dubur”. Asal kata ini langsung merujuk pada objek yang dibersihkan dalam praktik istinja’. Jadi, istinja artinya membersihkan kotoran setelah buang air.

Definisi Istinja Menurut Syariat Islam

Dalam terminologi fiqih, Definisi Istinja lebih spesifik. Istinja adalah tindakan membersihkan najis yang keluar dari dua jalan (lubang) pembuangan, yaitu qubul (kemaluan) dan dubur (anus). Ini mencakup membersihkan organ intim dari sisa-sisa air kencing (najis qubul) dan tinja (najis dubur).

Tujuan utamanya adalah menghilangkan najis tersebut sebisa mungkin. Jika najisnya tidak bisa hilang sepenuhnya karena suatu kondisi (misalnya pada orang yang tidak mampu menahan buang air kecil atau beser) atau media istinja yang memang tidak bisa sepenuhnya menghilangkan najis, maka yang dilakukan adalah mengurangi dan membersihkan sisa-sisa najis tersebut semaksimal kemampuan. Praktik bersuci setelah buang air ini merupakan langkah awal dalam menjaga kesucian diri seorang Muslim.

Hukum Istinja dalam Islam

Mengenai Hukum Istinja, mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi’i yang diacu oleh kitab Fiqh Manhaji, menyatakan bahwa Hukum Istinja adalah wajib.

Mengapa istinja’ dihukumi wajib? Karena najis yang keluar dari qubul dan dubur membatalkan wudu dan menghalangi keabsahan salat serta ibadah lain yang mensyaratkan kesucian dari hadas dan najis. Dengan membersihkan najis qubul dan dubur melalui istinja’, seorang Muslim memastikan bahwa tempat keluarnya najis telah suci, sehingga memungkinkan dia untuk berwudu atau mandi junub dengan sempurna dan melaksanakan ibadah dalam keadaan suci.

Dalil kewajiban istinja’ disebutkan dalam banyak referensi fiqih dan hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendorong pentingnya kebersihan, khususnya setelah buang air. Melaksanakan istinja’ adalah bagian tak terpisahkan dari tata cara bersuci dalam Islam.

Pentingnya Istinja untuk Kesucian

Secara keseluruhan, Istinja dalam Islam memiliki peran yang sangat penting. Ia bukan sekadar masalah kebersihan fisik biasa, melainkan bagian dari bersuci yang disyariatkan. Dengan benar-benar memahami Pengertian Istinja dan melaksanakannya, seorang Muslim menjaga kesucian dirinya dari najis, yang merupakan syarat sahnya banyak ibadah, terutama salat.

Membersihkan setelah buang air besar dan membersihkan setelah buang air kecil melalui istinja’ memastikan bahwa area yang terkontaminasi najis telah bersih, sehingga seseorang siap untuk melanjutkan ke langkah bersuci berikutnya seperti wudu atau mandi. Praktik ini menunjukkan betapa Islam menekankan pentingnya kebersihan lahir dan batin bagi umatnya.

Memahami Istinja menurut fiqih membantu kita mengetahui tata cara yang benar dan apa saja yang bisa digunakan untuk beristinja’, seperti air atau benda kesat yang suci. Ini memastikan bahwa upaya kita dalam membersihkan organ intim benar-benar sah menurut syariat.

Dengan demikian, Istinja adalah fondasi penting dalam menjaga kesucian diri, memungkinkan kita untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan terbaik. Melaksanakan istinja’ bukan hanya kebiasaan, melainkan kewajiban yang membawa banyak kebaikan bagi diri sendiri dan juga kebersihan lingkungan.

  1. Khin, Muṣṭafā al-, Muṣṭafā Dīb al-Bughā, dan ʿAlī ash-Sharbajī. Al-Fiqh al-Manhaji. Vol. 1. Damascus: Darul Qalam, 1992, 45.
    ↩︎
  2. Didefinisikan dengan “mengurangi najis” karena untuk memasukkan praktek istinja yang tidak bisa menghilangkan zat najis yang keluar secara sempurna, seperti ketika istinja dengan batu atau tisu. ↩︎
  3. Akan kami tuliskan artikel tersendiri mengenai dalil dan dasar hukum istinja. ↩︎