Najis Mugholadoh Menurut Islam
Najis Mugholadoh Menurut Islam

Najis Mugholadoh Menurut Islam: Dalil dan Contoh

Dalam ajaran Islam, kebersihan atau kesucian (taharah) punya tempat penting. Salah satu bagian dari bahasan kesucian adalah mengenai najis. Najis adalah kotoran yang bisa menghalangi sahnya ibadah tertentu, seperti salat. Ulama membagi najis menjadi beberapa tingkatan. Salah satu tingkatan yang perlu kita pahami baik-baik adalah najis mugholadoh. Ini adalah najis berat dalam Islam yang punya cara khusus untuk membersihkannya.

Baca juga: Memahami Macam Macam Najis dalam Islam dan Cara Mensucikannya

Memahami najis mughallazah bukan hanya soal tahu kotoran apa saja yang termasuk di dalamnya, tapi juga memahami mengapa dan bagaimana cara menyucikannya sesuai syariat. Pembahasan ini penting supaya ibadah kita sah dan diterima oleh Allah SWT.

Memahami Pengertian Najis Mugholadoh

Apa sebenarnya pengertian najis mugholadoh itu? Secara bahasa, “mugholadoh” artinya diberatkan atau dipertegas. Jadi, najis mugholadoh adalah jenis najis yang penanganannya diperberat atau memiliki tata cara penyucian yang lebih ketat dibanding najis lainnya.

Sumber utama dari najis mugholadoh ini adalah dua hewan: najis anjing dan najis babi, serta segala sesuatu yang berasal dari keduanya. Ini mencakup air liur, kotoran, air seni, darah, daging, tulang, dan bagian tubuh lainnya. Para ulama fikih menjelaskan ini secara rinci dalam kitab-kitab mereka.

Contoh Najis Mugholadoh: Anjing dan Babi

Contoh najis mugholadoh yang paling sering disebut dan dibahas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anjing dan babi. Mengapa kedua hewan ini mendapat perlakuan khusus dalam bab najis?

Kenapa Anjing dan Babi Dianggap Najis Mugholadoh?

Alasan anjing dan babi dikategorikan sebagai najis berat dalam Islam bersumber dari dalil-dalil syariat.

Untuk najis babi, keharamannya jelas disebut dalam Al-Qur’an. Keharaman ini berimbas pada status kenajisannya. Babi dipandang sebagai hewan yang secara dzatnya kotor dan diharamkan total untuk dikonsumsi bahkan secara mutlak diharamkan untuk dipelihara.

Adapun najis anjing, status najisnya terutama didasarkan pada hadis-hadis sahih yang memberikan panduan cara menyucikan bejana yang terkena jilatan anjing. Ini menunjukkan bahwa air liur anjing itu najis, dan karena air liur berasal dari tubuh anjing, maka seluruh tubuh anjing dianggap najis.

Sumber Rujukan Ulama Mengenai Najis Mugholadoh

Para ulama terdahulu hingga kini membahas hukum-hukum ini secara mendalam. Kita bisa melihat penjelasan mereka dalam berbagai kitab fikih. Dua rujukan yang kita tinjau di sini adalah pandangan dari Syekh Ibrahim Al-Baijuri dan Syekh Ahmad bin Ahmad bin Hamzah dalam syarah (penjelasan) mereka atas kitab Matan Abi Syuja’ dan Matan Zubad. Pandangan ini penting untuk memahami najis mugholadoh menurut ulama.

Pandangan Al-Baijuri

Dalam kitab Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, Syekh Ibrahim Al-Baijuri menjelaskan poin mengenai kenajisan hewan:

Teks Arab:

قوله: (والحيوان كله طاهر) (إلا الكلب) أي ولو كلب صيد (والخنزير) بكسر الخاء. قوله: (وما تولد منهما) أي بأن نزا كلب على خنزيرة أو خنزير على كلبة فتولد منهما ولد فتحته صورتان. قوله: (أو من أحدهما مع حيوان طاهر) كأن نزا كلب أو خنزير على شاة فتولد منهما ولد أو نا ذكر الضأن على كلبة أو خنزيرة فتولد منهما ولد فتحته أربع صور

اهـ البيجوري – ج1 ص- 318-319

Terjemahan:

“Ucapannya (yaitu matan): (Dan seluruh hewan itu suci) (kecuali anjing), maksudnya meskipun anjing pemburu, (dan babi)” dengan kasrah huruf kha’. Ucapannya: (Dan apa yang lahir dari keduanya), maksudnya, sebagaimana contoh, anjing jantan mengawini babi betina, atau babi jantan mengawini anjing betina, lalu lahirlah anak dari keduanya, maka di bawahnya ada dua bentuk (kemungkinan). Ucapannya: (Atau dari salah satu dari keduanya bersama hewan yang suci), seperti anjing atau babi jantan mengawini kambing betina, lalu lahirlah anak dari keduanya, atau domba jantan mengawini anjing betina atau babi betina, lalu lahirlah anak dari keduanya, maka di bawahnya ada empat bentuk (kemungkinan).”

Selesai, Al-Baijuri – Juz 1 hal. 318-319

Penjelasan Al-Baijuri menegaskan bahwa anjing (termasuk anjing berburu) dan babi adalah najis. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa keturunan yang lahir dari persilangan anjing dengan babi juga dihukumi najis. Ini mencakup najis mugholadoh anak anjing dan babi yang lahir dari kedua induk najis tersebut. Tidak hanya itu, anak yang lahir dari persilangan salah satu dari anjing atau babi dengan hewan lain yang suci, misalnya domba atau kambing, juga dihukumi najis. Ini menunjukkan perluasan hukum najis berat dalam Islam ini.

Pandangan Penulis Fathurrahman

Sementara itu, dalam kitab Fathurrahman bi Syarh Zubad Ibnu Ruslan, Syekh Ahmad bin Ahmad bin Hamzah memberikan penjelasan lebih rinci mengenai alasan kenajisan anjing dan babi:

Teks Arab:

نجاسة الخنزير: الثاني: الخنزير؛ لأنه أسوأ حالاً من الكلب؛ لأنه لا يقتني بحال، ولأنه مندوب إلى قتله من غير ضرر فيه، ومنصوص على تحريمه.
نجاسة الكلب: الثالث: الكلب ولو معلماً؛ لخبر “الصحيحين” : “إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم .. قليرقه، ثم ليغلسه سبع مرات” ، ويخبر مسلم: “طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب .. أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب” .

وجه الدلالة: أنه لو لم يكن نجساً .. لما أمر بإراقته؛ لما فيها من إتلاف المال المنهي عن إضاعته، ولأن الطهارة: إما عن حدث أو خبث، ولا حدث على الإناء فتعينت طهارة الخبث، فثبتت نجاسة فمه وهو أطيب أجزائه، بل هو أطيب الحيوان نكهة؛ لكثرة ما يلهب فبقيتها أولى، وفي الحديث: أنه صلى الله عليه وسلم دعي إلى دار قوم فأجاب، ثم دعي إلى دار أخرى فلم يجب، فقيل له في ذلك، فقال: “إن في دار فلان كلباً” ، قيل: وإن في دار فلان هرة؟ ! فقال: “الهرة ليست بنجسة” رواه الدارقطني والحاكم.

وإراقة ما ولغ فيه .. واجبة إن أريد استعمال الإناء، وإلا .. فمستحبة كسائر النجاسات إلا الخمر غير المحترمة فتجب إراقتها؛ لطلب النفس تناولها

[نجاسة فرع الكلب والخنزير]

الرابع: الفرع لكل من الكلب والخنزير مع الآخر، أو مع حيوان طاهر تبعاً لأصله وتغليباً للنجاسة، وعلله في “المهذب” بأنه مخلوق من النجاسة فكان مثلها

اهـ فتح الرحمن بشرح زبد بن رسلان

Terjemahan:

[Kenajisan Babi]

Kedua: Babi; karena keadaannya lebih buruk dari anjing; karena ia tidak boleh dipelihara dalam keadaan apapun, dan karena dianjurkan untuk membunuhnya meskipun tanpa kemadhorotan yang ditimbulkan, dan telah jelas disebutkan keharamannya.

[Kenajisan Anjing]

Ketiga: Anjing, meskipun sudah terlatih; berdasarkan hadis dari “Ash-Shahihain” (Bukhari dan Muslim): “Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka buanglah (air/isi bejana) itu, kemudian cucilah tujuh kali.” Dan dalam riwayat Muslim: “Kesucian bejana salah seorang dari kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.”

Sisi pendalilan (dari hadis tersebut): Bahwa seandainya anjing itu tidak najis, tentu tidak akan diperintahkan untuk membuang isinya; karena hal itu termasuk merusak harta yang mana Islam melarang menyia-nyiakan harta.

Dan karena kesucian itu ada dua macam: suci dari hadas atau suci dari najis (khabats), sementara itu, tidak ada hadas pada bejana, maka yang dimaksud pastilah suci dari najis. Maka, tetaplah kenajisan mulut anjing, padahal mulut adalah bagian tubuhnya yang paling baik, bahkan anjing adalah hewan yang paling bersih mulutnya (Maksudnya, anjing dikenal memiliki bau mulut yang tidak terlalu busuk dibandingkan hewan lain karena sering menjilat. Ini merupakan penguatan argumen. Menjelaskan alasan mengapa mulut anjing tampak lebih ‘bersih’ atau harum, karena menjilat melibatkan air liur yang terus-menerus membasahi dan membersihkan mulut.), karena alasan itu bagian tubuhnya yang lain lebih utama (untuk dihukumi najis).

Dan dalam hadis lain: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang ke rumah suatu kaum lalu beliau memenuhi undangan itu, kemudian diundang ke rumah yang lain namun beliau tidak memenuhinya. Ketika ditanyakan mengenai hal itu, beliau bersabda: “Sesungguhnya di rumah fulan ada anjing.” Dikatakan (oleh sahabat): “Dan sesungguhnya di rumah fulan ada kucing?” Beliau bersabda: “Kucing itu tidak najis.” Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Hakim.

Dan membuang (air/isi bejana) yang dijilatnya .. wajib jika bejana tersebut ingin digunakan, dan jika tidak, maka sunah sebagaimana najis-najis lainnya, kecuali khamar yang tidak dihormati syariat (khamar yang pembuatannya bukan sebagai proses pembuatan cuka) maka wajib membuangnya; karena dorongan nafsu untuk meminumnya.

[Kenajisan Keturunan Anjing dan Babi]

Keempat: Keturunan dari masing-masing anjing dan babi dengan yang lain, atau dengan hewan yang suci, mengikuti asal-usulnya dan mendahulukan (hukum) najis. Dan ulama dalam kitab “Al-Muhadzdzab” memberikan alasan bahwa keturunan tersebut diciptakan dari najis, maka hukumnya seperti najis itu sendiri.

Selesai, Fathurrahman Syarah Zubad Ibnu Ruslan

Kitab Fathurrahman memberikan alasan yang lebih mendalam mengenai kenajisan babi dan anjing. Untuk babi, ia menekankan statusnya yang buruk dan keharamannya. Untuk anjing, ia menggunakan hadis jilatan anjing sebagai dalil utama. Perintah membuang air yang dijilat dan mencuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah, menunjukkan kenajisan air liur anjing (najis mugholadoh air liur anjing). Jika air liurnya najis berat, maka kotoran anjing dan bagian tubuh lainnya juga najis. Begitu juga dengan najis mugholadoh kotoran babi, ia mengikuti status najis babi itu sendiri.

Sama seperti Al-Baijuri, Fathurrahman juga menegaskan bahwa keturunan dari anjing dan babi, baik sesama mereka atau dengan hewan suci, juga dihukumi najis (najis mugholadoh anak anjing dan babi). Alasannya adalah karena asal penciptaannya berasal dari unsur najis, dan dalam fiqih, hukum najis lebih dikuatkan ketika bercampur dengan suci dalam masalah asal-usul. Ini sesuai dengan penjelasan najis mugholadoh menurut ulama lain dalam kitab seperti Al-Muhadzdzab.

Dalil dan Hadits Terkait Najis Mugholadoh

Status najis mugholadoh ini bukan sekadar pendapat, tapi ada dasarnya. Untuk najis babi, dalilnya ada dalam Al-Qur’an yang mengharamkannya. Sementara untuk najis anjing, dalil utamanya adalah hadits Nabi Muhammad SAW.

Salah satu najis mugholadoh dan hadits yang paling sering menjadi rujukan adalah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُم فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ”

“Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka buanglah (air/isi bejana) itu, kemudian cucilah tujuh kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim, disebutkan tambahan cara mencucinya:

“طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”

“Kesucian bejana salah seorang dari kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah.” (HR. Muslim)

Hadis ini adalah najis mugholadoh dan dalilnya yang paling kuat untuk menetapkan status najis anjing, khususnya air liurnya. Perintah untuk mencuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah, menunjukkan beratnya kenajisan tersebut.

Klasifikasi Najis Mugholadoh: ‘Ainiyah, dan Hukmiyah

Selain memahami apa saja najis mugholadoh, dalam ilmu fikih juga dikenal pembagian najis berdasarkan sifatnya: najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah. Penting memahami keduanya untuk mengetahui status najis mugholadoh.

  • Najis ‘Ainiyah: Najis ‘ainiyah adalah najis yang wujudnya masih terlihat, tercium baunya, atau terasa rasanya. Contohnya kotoran anjing dan babi yang masih basah, liurnya, atau bangkainya.
  • Najis Hukmiyah: Najis yang wujudnya sudah tidak terlihat, baunya sudah hilang, dan rasanya sudah tidak ada. Namun, secara hukum, tempatnya masih dianggap najis sampai disucikan. Contohnya bekas air kencing yang sudah kering di lantai, tapi belum dicuci.

Lalu, dimana posisi najis mugholadoh dan najis ‘ainiyah, serta najis mugholadoh dan najis hukmiyah? Najis mugholadoh bisa berwujud najis ‘ainiyah saat masih ada wujud fisik dari anjing atau babi atau apa pun yang berasal darinya (misalnya bulu anjing yang basah, kotoran babi yang terlihat). Jika wujud fisik najis mugholadoh itu sudah hilang, misalnya bekas jilatan anjing yang sudah kering di lantai, maka statusnya menjadi najis hukmiyah, namun tetap memerlukan cara penyucian najis mugholadoh yang berat.

Cara Menyucikan Najis Mugholadoh

Karena statusnya yang berat, cara menyucikan najis mugholadoh juga berbeda. Jika terkena najis anjing atau najis babi (termasuk apa pun yang berasal darinya, seperti najis mugholadoh air liur anjing atau najis mugholadoh kotoran babi), benda yang terkena harus dicuci sebanyak tujuh kali. Salah satu dari tujuh cucian itu harus menggunakan air yang dicampur dengan tanah yang suci. Setelah mencuci dengan air tanah, dilanjutkan dengan enam kali cucian air suci. Ini adalah metode yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya.

Najis Mugholadoh dalam Kitab Safinatun Najah

Pembahasan mengenai najis mugholadoh ini merupakan materi dasar dalam pelajaran fikih. Kitab-kitab ringkas yang dipelajari oleh para santri pemula, seperti najis mugholadoh dalam kitab Safinatun Najah, juga mencantumkan klasifikasi najis ini sebagai salah satu bab penting yang harus diketahui. Ini menunjukkan betapa mendasarnya pengetahuan tentang najis berat dalam Islam ini bagi umat Islam.

Kesimpulan

Najis mugholadoh adalah jenis najis berat dalam Islam yang sumbernya utama adalah anjing dan babi beserta turunannya. Memahami pengertian najis mugholadoh serta contoh najis mugholadoh seperti najis anjing dan najis babi beserta turunannya (najis mugholadoh anak anjing dan babi) sangat penting.

Kita melihat bagaimana najis mugholadoh menurut ulama seperti dalam kitab Al-Baijuri dan Fathurrahman dijelaskan dengan merujuk pada najis mugholadoh dan dalilnya dari Al-Qur’an dan najis mugholadoh dan hadits Nabi SAW. Status najis mugholadoh bisa berupa najis ‘ainiyah atau najis hukmiyah, namun cara menyucikannya tetap sama, yaitu dengan mencuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.

Pengetahuan ini juga tercatat dalam kitab-kitab dasar seperti kitab Safinatun Najah. Dengan mengetahui dan menjalankan tata cara penyucian yang benar, kita memastikan kesucian diri dan tempat ibadah kita, sehingga ibadah kita sah di hadapan Allah SWT.

Referensi

Aḥmad ibn Aḥmad ibn Ḥamzah ar-Ramlī, Abū al-‘Abbās Syihābuddīn. Fatḥ ar-Raḥmān bi-Syarḥ Zubad Ibn Ruslān. Diedit oleh Syaikh Sīd bin Syaltūt asy-Syāfi‘ī. Cetakan pertama. Beirut, Lebanon: Dār al-Minhāj, 2009, 131.

Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Aḥmad al-Bājūrī. Ḥāsyiyah al-Bājūrī ‘alā Syarḥ Ibn al-Qāsim ‘alā Matn Abī Syujā‘. Jilid 1 dari 3. Diakses 17 Oktober 2019. https://ketabonline.com/ar/books/97167, 318-319.