Adab Sebelum Berkurban
Adab Sebelum Berkurban. Made by AI

Adab Sebelum Berkurban: Panduan untuk Shohibul Qurban

Ibadah kurban adalah salah satu amalan penting dalam Islam yang dilakukan saat Hari Raya Idul Adha. Bagi shohibul qurban, yaitu orang yang melaksanakan kurban, memahami adab sebelum berkurban menjadi kunci agar ibadah ini diterima oleh Allah SWT.

Artikel ini akan membahas secara rinci adab berkurban, sunnah sebelum berkurban, dan larangan sebelum berkurban berdasarkan kitab Al-Fiqh Al-Manhaji juz 1, halaman 236, lengkap dengan teks asli dalam bahasa Arab, terjemahan, dan penjelasan dalam bahasa Indonesia.

Pengertian Adab Berkurban

Adab berkurban merujuk pada tata cara dan perilaku yang dianjurkan bagi shohibul qurban sebelum, selama, dan setelah penyembelihan hewan kurban. Adab ini mencakup aspek teknis, seperti tata cara penyembelihan, dan aspek spiritual, seperti keikhlasan dan penghormatan terhadap ibadah. Kitab Al-Fiqh Al-Manhaji menjadi salah satu rujukan utama yang menjelaskan adab sebelum berkurban dan adab penyembelihan hewan kurban.

Adab Sebelum Berkurban

Sebelum melaksanakan kurban, terdapat beberapa adab yang dianjurkan untuk dipraktikkan oleh shohibul qurban. Berikut adalah penjelasan lengkap berdasarkan teks asli dari Al-Fiqh Al-Manhaji:

1. Tidak Memotong Rambut dan Kuku Sebelum Kurban

Salah satu larangan sebelum berkurban yang utama adalah tidak memotong rambut dan kuku mulai dari tanggal 1 Dzulhijjah hingga hewan kurban disembelih. Berikut teks asli dari Al-Fiqh Al-Manhaji juz 1, halaman 236:

إذا دخل عشر ذي الحجة، وعزم خلاله على أن يضحي، ندب له أن لا يزيل شيئاً من شعره وأظافره إلى أن يضحي فليمسك عن شعره وأظافره. لما رواه مسلم (١٩٧٧)، عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: “إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظافره”.

Terjemahan: Apabila telah memasuki tanggal satu Dzulhijjah dan seseorang berniat untuk berkurban, disunnahkan baginya untuk tidak memotong rambut dan kukunya hingga ia selesai melaksanakan kurban. Ia harus menahan diri dari memotong rambut dan kukunya.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1977) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”

Penjelasan: Hukum tidak memotong rambut dan kuku sebelum kurban bersifat sunnah, bukan wajib. Larangan ini berlaku bagi shohibul qurban. Tujuannya adalah untuk menyerupai keadaan ihram dalam haji, sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah kurban. Jika seseorang melanggarnya, kurbannya tetap sah, tetapi ia kehilangan keutamaan sunnah ini.

2. Menjaga Niat dan Keikhlasan

Adab shohibul qurban juga mencakup menjaga niat yang ikhlas karena Allah SWT. Niat menjadi fondasi utama ibadah kurban. Shohibul qurban harus memastikan bahwa kurbannya dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk pamer atau tujuan duniawi. Memilih hewan kurban yang sehat dan sesuai syariat juga merupakan bagian dari adab sebelum berkurban.

Sunnah Sebelum Berkurban

Selain larangan, terdapat beberapa sunnah sebelum berkurban yang dapat meningkatkan keutamaan ibadah. Berikut adalah dua sunnah utama berdasarkan teks asli:

1. Menyembelih Sendiri atau Menyaksikan Penyembelihan

Adab penyembelihan hewan kurban mencakup anjuran untuk menyembelih sendiri atau menyaksikan penyembelihan. Berikut teks asli dari Al-Fiqh Al-Manhaji:

يسن له أن يتولى ذبحها بنفسه، فإن لم يفعل لعذر أو غيره، فليشهد ذبحها، لما رواه الحكام (٤/ ٢٢٢) بإسناد صحيح: إنه – صلى الله عليه وسلم – قال لفاطمة رضي الله عنها: “قومي إلى أضحيتك فاشهديها فإنه بأول قطرة من دمها يغفر لك ما سلف من ذنوبك” قالت: يا رسول الله، هذا لنا أهل البيت خاصة، أو لنا المسلمين عامة؟ قال: بل لنا وللمسلمين عامة”.

Terjemahan: Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menyembelih hewan kurbannya sendiri. Jika ia tidak melakukannya karena suatu uzur atau alasan lain, maka hendaklah ia menyaksikan penyembelihan tersebut. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim (4/222) dengan sanad yang sahih, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah radhiyallahu ‘anha:

“Berdirilah menuju hewan kurbanmu dan saksikan penyembelihannya, karena dengan tetesan darah pertamanya, dosa-dosamu yang telah lalu akan diampuni.” Fatimah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini khusus untuk kami, keluarga Bait (Nabi), atau untuk kami dan umat Islam secara umum?” Beliau menjawab, “Bahkan untuk kami dan umat Islam secara umum.”

Penjelasan: Menyembelih sendiri atau menyaksikan penyembelihan memberikan keutamaan besar, yaitu pengampunan dosa saat darah pertama hewan kurban mengalir. Jika shohibul qurban tidak mampu menyembelih karena kurang keahlian, menyaksikan prosesnya tetap dianjurkan untuk merasakan makna ibadah tersebut.

2. Membaca Basmalah Saat Menyembelih

Membaca basmalah saat menyembelih adalah bagian penting dari adab penyembelihan hewan kurban. Selain itu, bagi pemimpin kaum Muslimin dianjurkan melaksanakan kurban dari kas baitulmal dan membagikan pahalanya untuk rakyat atau umat Islam.

Berikut teks asli dari Al-Fiqh Al-Manhaji:

يسنّ لحاكم المسلمين أو إمامهم أن يضحي من بيت المال عن المسلمين، فقد روى مسلم (١٩٦٧) أنه – صلى الله عليه وسلم – ضحى بكبش، وقال عند ذبحه: “باسم الله، اللهم تقبل من محمد وآل محمد وأمة محمد”.

Terjemahan: Disunnahkan bagi pemimpin atau imam kaum Muslimin untuk berkurban dari harta baitulmal atas nama umat Islam. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1967), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan seekor domba jantan dan mengucapkan saat menyembelih: “Dengan nama Allah, ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.”

Penjelasan: Pengucapan basmalah menegaskan bahwa penyembelihan dilakukan dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah SWT. Doa ini juga mencerminkan bahwa pahala kurban tidak hanya untuk pribadi, tetapi bisa juga dibagikan untuk keluarga dan umat Islam secara umum1.

Larangan Sebelum Berkurban

Selain tidak memotong rambut dan kuku sebelum kurban, shohibul qurban juga dilarang memilih hewan kurban yang cacat, seperti buta, pincang, atau terlalu kurus. Memastikan hewan kurban memenuhi syarat syariat adalah bagian dari adab shohibul qurban untuk menjaga kesucian ibadah.

Adab Penyembelihan Hewan Kurban oleh Pemimpin

Bagi pemimpin umat Islam, terdapat adab tambahan sebagaimana disebutkan dalam teks asli berikut:

ويذبحه بالمصلى، حيث يجتمع الناس لصلاة العيد، وأن ينحر أو يذبح بنفسه، روى البخاري في صحيحه (٥٢٣٢) عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: كان رسول الله – 2صلى الله عليه وسلم – يذبح وينحر بالمصلى.

Terjemahan: Penyembelihan dilakukan di tempat shalat (mushalla), tempat berkumpulnya orang-orang untuk shalat Id. Disunnahkan pula bagi pemimpin untuk menyembelih atau menjagal sendiri hewan kurbannya. Hal ini berdasarkan riwayat Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5232) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih di tempat shalat (tempat pelaksanaan sholat Idul Adha).”

Penjelasan: Penyembelihan di tempat pelaksanaan sholat Idul Adha menunjukkan kebersamaan umat Islam, sementara anjuran bagi pemimpin untuk menyembelih sendiri mencerminkan teladan dan keterlibatan langsung dalam ibadah.

Mengapa Adab Berkurban Penting?

Mengamalkan adab sebelum berkurban, sunnah sebelum berkurban, dan adab penyembelihan hewan kurban menunjukkan ketaatan kepada ajaran Nabi Muhammad SAW. Adab-adab ini membantu shohibul qurban menjalankan ibadah dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan penghormatan.

Dengan mematuhi larangan sebelum berkurban dan melaksanakan sunnah, seperti membaca basmalah saat menyembelih, shohibul qurban dapat meraih keutamaan, seperti pengampunan dosa dan keberkahan. Selain itu dalam al-Muhimmāt fī Sharḥ al-Rawḍah wa al-Rāfiʿī diperbolehkan menyembelih satu kambing dan membagikan pahalanya untuk 7 orang atau lebih.

  1. ʿAbd al-Raḥīm al-Isnawī, al-Muhimmāt fī Sharḥ al-Rawḍah wa al-Rāfiʿī, ed. Aḥmad ibn ʿAlī Abū al-Faḍl al-Dimyāṭī (Casablanca: Markaz al-Turāth al-Thaqāfī al-Maghribī; Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2009), 9:27–28. ↩︎
  2. Khin, Muṣṭafā al-, Muṣṭafā Dīb al-Bughā, dan ʿAlī ash-Sharbajī. Al-Fiqh al-Manhaji. Vol. 1. Damascus: Darul Qalam, 1992, 236.
    ↩︎