sejarah kalender hijriyah
Ilustrasi sejarah kalender hijriyah

Sejarah Kalender Hijriyah: Dari Masalah Administrasi Menjadi Identitas Umat

Bagi umat Islam, pergantian tahun bukan sekadar pesta kembang api atau terompet. Ada makna mendalam di balik sistem waktu yang kita gunakan. Namun, seringkali kita lupa bagaimana sejarah kalender hijriyah ini bermula. Apakah Nabi Muhammad SAW yang membuatnya? Atau para sahabat?

Secara definisi, kalender hijriyah adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh umat Islam untuk menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti puasa Ramadan, Haji, dan hari raya. Karena berbasis pada peredaran bulan, kalender hijriah dikenal juga dengan nama kalender Qamariyah.

Namun, tahukah Anda bahwa sistem ini lahir dari sebuah kebingungan administratif sederhana di masa lalu? Mari kita bahas tuntas kisahnya.

Latar Belakang: Sebuah Dokumen Tanpa Tahun

Banyak orang mengira sistem ini sudah baku sejak zaman Rasulullah. Faktanya, pada masa Nabi dan Khalifah Abu Bakar, umat Islam belum memiliki angka tahun resmi. Mereka biasa menamai tahun dengan peristiwa besar yang terjadi, seperti “Tahun Gajah” atau “Tahun Izin Berperang”.

Sejarah penanggalan hijriyah justru dimulai secara resmi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Nur al-Zhalam, menceritakan sebuah anekdot menarik yang menjadi pemicu lahirnya kalender ini.

Baca juga: Sabtu atau Ahad? Mengungkap Hari Pertama dalam Seminggu Menurut Ajaran Islam

Suatu hari, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menerima sebuah dokumen tertulis (sejenis cek atau surat utang) yang jatuh tempo pada bulan Sya’ban. Masalah muncul ketika Umar membaca surat itu. Beliau bertanya:

“Apakah ini Sya’ban yang lalu, atau Sya’ban yang akan datang?”

Pertanyaan sederhana ini membuka mata para pemimpin saat itu bahwa tanpa angka tahun, urusan negara dan hak-hak sipil bisa kacau. Dokumen menjadi multitafsir. Dari sinilah Umar memerintahkan untuk membuat acuan waktu yang jelas agar tidak ada lagi kerancuan dalam urusan administrasi.

Khalifah yang Menetapkan Kalender Hijriyah Adalah Umar bin Khattab

Jika ada pertanyaan siapakah pembuat kalender hijriyah atau inisiator utamanya, jawabannya adalah Umar bin Khattab. Namun, Umar tidak bekerja sendiri. Beliau tidak serta merta menunjuk dirinya sebagai penemu kalender hijriyah yang menentukan segalanya secara sepihak.

Umar mengumpulkan para sahabat senior untuk bermusyawarah. Ini menunjukkan bahwa penetapan sistem waktu ini adalah hasil kesepakatan kolektif (Ijma’ Sahabat), bukan wahyu langsung, melainkan ijtihad cerdas untuk kemaslahatan umat.

Jadi, bisa dikatakan khalifah yang menetapkan kalender hijriyah adalah Umar bin Khattab, namun prosesnya melibatkan diskusi panjang dengan tokoh-tokoh besar seperti Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Mengapa Kalender Hijriyah Dihitung Berawal dari Peristiwa Hijrah?

Dalam musyawarah tersebut, muncul berbagai usulan mengenai kapan tahun ke-1 harus dimulai. Namun, para sahabat akhirnya sepakat bahwa kalender hijriyah dihitung berawal dari peristiwa Hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Mengapa bukan kelahiran atau wafat beliau?

Alasannya sangat filosofis dan politis. Kelahiran Nabi saat itu belum membawa perubahan status negara. Wafatnya Nabi adalah momen kesedihan. Sedangkan Hijrah adalah tonggak pemisah yang tegas antara kebenaran (haq) dan kebatilan. Hijrah juga menandai berdirinya peradaban Islam yang mandiri dan berdaulat di Madinah. Inilah mengapa momen ini dianggap paling layak menjadi titik nol peradaban Islam.

Dasar Perhitungan Kalender Hijriah Berdasarkan Pada Bulan

Berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan matahari, perhitungan kalender hijriah berdasarkan pada revolusi bulan mengelilingi bumi. Karena itulah kalender hijriyah disebut juga kalender lunar.

Ada poin menarik dari penjelasan Syekh Nawawi dalam Nur al-Zhalam mengenai mengapa hari dalam Islam dimulai saat terbenam matahari (Maghrib), bukan tengah malam seperti sistem Masehi.

Bangsa Arab saat itu adalah kaum yang ummi (tidak bisa baca tulis dan tidak menguasai ilmu hisab rumit ala Romawi atau Persia). Mereka mengandalkan tanda alam yang terlihat mata telanjang. Penanda awal bulan adalah munculnya bulan sabit muda (hilal).

Kapan hilal muncul? Tentu saja di malam hari. Karena penanda waktu (hilal) muncul saat malam, maka otomatis malam dianggap sebagai permulaan hari. Logika sederhana inilah yang dipakai hingga sekarang, di mana pergantian tanggal dalam Islam terjadi saat adzan Maghrib berkumandang.

Pada Kalender Hijriah Jumlah Hari Adalah Berbeda

Implikasi dari penggunaan siklus bulan membuat durasi tahun Hijriyah berbeda dengan Masehi.

Pada kalender hijriah jumlah hari adalah sekitar 354 atau 355 hari dalam satu tahun. Dalam satu bulan, jumlah harinya tidak pasti 30 atau 31, melainkan bergantian antara 29 atau 30 hari, tergantung pada kemunculan bulan baru.

Hal ini membuat tahun Hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibandingkan tahun Masehi. Inilah sebabnya mengapa bulan Ramadan atau Idul Fitri selalu “maju” setiap tahunnya jika dilihat dari kacamata kalender Masehi. Siklus ini memungkinkan umat Islam di seluruh dunia merasakan puasa di berbagai musim selama masa hidup mereka.

Redaksi Asli dari Kitab Nur al-Zhalam

Untuk memperkuat pemahaman kita, berikut adalah teks asli dan terjemahan dari kitab Nur al-Zhalam karya ulama besar Indonesia, Syekh Nawawi al-Bantani, yang menjadi rujukan artikel ini:

نص الكتاب: وسبب وضع التاريخ أول الإسلام أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أُتِيَ بصك مكتوب إلى شعبان، فقال: أهو شعبان الماضي أو شعبان القابل؟ ثم أَمَرَ بوضع التاريخ، واتفقت الصحابة على ابتداء التاريخ من هجرة النبي صلى الله عليه وسلم إلى المدينة، وجعلوا أول السنة المحرم، ويصير أول التاريخ الليلَ لأن الليل عند العرب سابق النهار؛ لأنهم أمّيون لا يحسنون الكتابة ولم يعرفوا حساب غيرهم من الأمم، فتمسكوا بظهور الهلال، وإنما يظهر بالليل فجعلوه ابتداء التاريخ، والأحسن ذكر الأقل ماضياً كان أو باقياً. انتهى.

Terjemahan: “Sebab penetapan penanggalan pada masa awal Islam adalah ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu disodorkan sebuah dokumen tertulis yang bertempo ‘sampai bulan Sya’ban’. Maka Umar bertanya: ‘Apakah ini Sya’ban yang lalu atau Sya’ban yang akan datang?’ Kemudian beliau memerintahkan untuk menetapkan penanggalan.

Para Sahabat sepakat untuk memulai penanggalan sejak peristiwa Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan mereka menjadikan bulan Muharram sebagai awal tahun.

Awal perhitungan tanggal dimulai pada malam hari, karena bagi orang Arab, malam itu mendahului siang. Hal ini disebabkan karena mereka adalah kaum yang ummi (tidak bisa baca tulis), tidak mahir menulis, dan tidak mengetahui metode hisab (perhitungan) umat-umat selain mereka. Maka, mereka berpegang teguh pada kemunculan hilal. Dan karena hilal hanya muncul pada malam hari, mereka menjadikannya sebagai permulaan tanggal. Adapun yang lebih baik (dalam penyebutan tanggal) adalah menyebutkan jumlah hari yang lebih sedikit, baik itu hari yang sudah berlalu maupun yang tersisa.”

Refleksi Penggunaan Kalender Hijriyah

Memahami sejarah ini membuat kita sadar bahwa Kalender Hijriyah bukan sekadar angka di dinding. Ia adalah solusi cerdas atas masalah nyata yang dihadapi umat terdahulu. Ia juga simbol kemandirian identitas umat Islam.

Meskipun dalam urusan pekerjaan sehari-hari kita mungkin lebih sering menggunakan kalender Masehi, mengenal sejarah penanggalan hijriyah membantu kita lebih menghargai momen-momen ibadah kita. Kita jadi tahu bahwa setiap kali kita melihat bulan sabit di langit, kita sedang melihat “jam dinding” raksasa yang sama yang dilihat oleh Umar bin Khattab dan para sahabat saat menentukan waktu bagi peradaban baru ini.

Semoga penjelasan mengenai asal-usul dan tokoh khalifah yang menetapkan kalender hijriyah adalah Umar bin Khattab ini menambah wawasan sejarah kita.

Referensi

Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nuruzh Zhalam Syarah Manzhumah Aqidah al-Awwam, cet. 1 (Beirut: Dar al-Hawi, 1996), hlm. 176.