Ibadah haji, rukun Islam kelima, merupakan dambaan setiap Muslim di seluruh dunia. Perjalanan spiritual ke Baitullah di Makkah ini bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sebuah napak tilas perjalanan para nabi, terutama Nabi Ibrahim AS. Sejarah ibadah haji sangat panjang dan penuh makna, berakar kuat sejak ribuan tahun lalu.
Baca juga: Pengertian Haji: Makna, Hukum, dan Peran Pentingnya sebagai Rukun Islam Kelima
Memahami asal usul ibadah haji akan menambah kekhusyukan dan penghayatan kita dalam melaksanakannya. Artikel ini akan menguraikan sejarah ibadah haji dalam Islam secara lengkap, termasuk bagaimana syariat ibadah haji dimulai sejak zaman nabi dan bagaimana ritual ibadah haji adalah untuk mengenang dan mencontoh sejarah nabi.
Akar Sejarah Ibadah Haji: Panggilan Nabi Ibrahim AS
Kisah awal mula ibadah haji tidak bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim AS, Sang Khalilullah (Kekasih Allah). Sejarah ibadah haji Nabi Ibrahim menjadi fondasi utama bagi pelaksanaan haji yang kita kenal saat ini.
Perintah Ibadah Haji kepada Sang Khalilullah
Setelah melalui berbagai ujian berat, termasuk perintah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS (yang kemudian digantikan dengan seekor sembelihan), Nabi Ibrahim AS menerima perintah ibadah haji dari Allah SWT. Perintah ini datang setelah beliau bersama Nabi Ismail AS selesai membangun atau meninggikan fondasi Ka’bah. Sejarah disyariatkannya ibadah haji secara formal bermula dari momen penting ini. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an agar Nabi Ibrahim menyerukan kepada manusia untuk datang mengerjakan haji.
Seruan Abadi dari Makkah
Salah satu riwayat penting mengenai sejarah ibadah haji dari Nabi Ibrahim AS terekam dalam kitab-kitab tafsir, termasuk Tafsir Ruh al-Ma’ani. Riwayat ini menggambarkan bagaimana Nabi Ibrahim AS, atas perintah Allah, menyerukan panggilan haji kepada seluruh umat manusia.
Dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani disebutkan:
أخرج ابن أبي شيبة في المصنف وابن جرير وابن المنذر والحاكم وصححه والبيهقي في سننه عن ابن عباس قال: «لما فرغ ابراهيم عليه السلام من بناء البيت قال: رب قد فرغت فقال:
أذن في الناس بالحج قال: يا رب وما يبلغ صوتي؟ قال: أذن وعلي البلاغ قال: رب كيف أقول؟ قال: قل يا أيها الناس كتب عليكم الحج إلى البيت العتيق فسمعه أهل السماء والأرض ألا ترى أنهم يجيبون من أقصى البلاد يلبون»
وجاء في رواية أخرى عنه أنه عليه السلام صعد أبا قبيس فوضع أصبعيه في أذنيه ثم نادى يا أيها الناس إن الله تعالى كتب عليكم الحج فأجيبوا ربكم فأجابوه بالتلبية في أصلاب الرجال وأرحام النساء، وأول من أجاب أهل اليمن فليس حاج بحج من يومئذ إلى أن تقوم الساعة إلا من أجاب يومئذ إبراهيم عليه السلام، وفي رواية أنه قام على الحجر فنادى، وعن مجاهد أنه عليه السلام قام على الصفا، وفي رواية أخرى عنه أنه عليه السلام تطاول به المقام حتى كان كأطول جبل في الأرض فأذن بالحج
، ويمكن الجمع بتكرر النداء، وأيا ما كان فالخطاب لإبراهيم عليه السلام. وزعم بعضهم أنه لنبينا صلّى الله عليه وسلّم أمر بذلك في حجة الوداع وروي ذلك عن الحسن وهو خلاف الظاهر جدا ولا قرينة عليه، وقيل: يأباه كون السورة مكية وقد علمت ما فيه أولها.
Terjemahan Teks Tafsir Ruh al-Ma’ani:
“Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Al-Hakim (dan beliau menshahihkannya), serta Al-Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Ketika Ibrahim ‘alaihissalam selesai membangun Baitullah, ia berkata: ‘Ya Rabb, aku telah selesai.’ Maka Allah berfirman:
‘Serulah manusia untuk mengerjakan haji.’ Ibrahim berkata: ‘Ya Rabb, bagaimana suaraku bisa sampai (kepada mereka)?’ Allah berfirman: ‘Serulah, dan Aku yang akan menyampaikannya.’ Ibrahim berkata: ‘Ya Rabb, bagaimana aku harus mengatakannya?’
Allah berfirman: ‘Katakanlah: Wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian haji ke Baitul ‘Atiq (Ka’bah).’ Maka seruan itu didengar oleh penduduk langit dan bumi. Tidakkah engkau lihat bahwa mereka datang menjawab (panggilan itu) dari berbagai penjuru negeri yang jauh sambil mengucapkan talbiyah.’
Dan dalam riwayat lain darinya (Ibnu Abbas) disebutkan bahwa Ibrahim ‘alaihissalam naik ke atas bukit Abu Qubais, lalu meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya, kemudian berseru: ‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian haji, maka jawablah (panggilan) Rabb kalian.’ Maka mereka menjawabnya dengan talbiyah dari dalam sulbi laki-laki dan rahim perempuan.
Dan yang pertama kali menjawab adalah penduduk Yaman. Maka tidak ada seorang pun yang berhaji sejak hari itu hingga hari kiamat melainkan ia adalah orang yang menjawab (panggilan) Ibrahim ‘alaihissalam pada hari itu.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia berdiri di atas batu lalu berseru. Dan dari Mujahid disebutkan bahwa ia ‘alaihissalam berdiri di atas bukit Shafa. Dalam riwayat lain darinya disebutkan bahwa beliu berdiri di Maqom Ibrahim, dan Maqom Ibrahim pun meninggi hingga menjadi seperti gunung tertinggi di bumi, lalu ia menyerukan haji.
Dan dimungkinkan untuk menggabungkan (berbagai riwayat ini) dengan menyatakan bahwa seruan itu dilakukan berulang kali. Apapun itu, perintah tersebut ditujukan kepada Ibrahim ‘alaihissalam. Sebagian orang mengklaim bahwa perintah dalam ayat tersebut itu ditujukan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat Haji Wada’.
Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, namun pendapat ini sangat bertentangan dengan makna lahiriah (teks Al-Qur’an) dan tidak ada petunjuk yang mendukungnya. Dikatakan pula bahwa pendapat ini ditolak karena surah (Al-Hajj) ini adalah surah Makkiyah, dan engkau telah mengetahui apa yang terkandung di awal surah tersebut.”
Penjelasan Ibarat dari Teks Tafsir: Dari kutipan di atas, kita dapat mengambil beberapa pelajaran penting mengenai sejarah ibadah haji.
Pertama, kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas, di mana suara Nabi Ibrahim AS dapat sampai ke seluruh penjuru alam atas kehendak-Nya.
Kedua, ketaatan penuh Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah.
Ketiga, jawaban universal dari umat manusia, bahkan yang masih dalam sulbi dan rahim, menunjukkan fitrah untuk beribadah. Ibadah haji pertama kali dilaksanakan pada zaman Nabi Ibrahim AS setelah seruan ini, dan mereka yang menunaikan haji hingga kini pada hakikatnya adalah menjawab panggilan abadi tersebut.
Ka’bah dan Sejarah Haji: Fondasi Spiritual Umat
Pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan haji memiliki kaitan yang sangat erat. Ka’bah menjadi kiblat dan pusat peribadatan umat Islam. Ka’bah dan sejarah haji adalah dua hal yang tak terpisahkan. Setelah selesai membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS berdoa agar amal mereka diterima dan agar keturunan mereka menjadi umat yang berserah diri kepada Allah SWT, serta memohon agar ditunjukkan cara-cara beribadah (manasik) haji. Doa ini menjadi salah satu penanda penting dalam sejarah awal ibadah haji.
Jejak Sejarah Haji Pra-Islam dan Penyempurnaan dalam Islam
Setelah masa Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, ajaran tauhid mulai terkontaminasi. Sejarah haji pra-Islam menunjukkan adanya berbagai penyimpangan dari ajaran asli Nabi Ibrahim AS.
Ritual Haji Sebelum Kedatangan Islam
Meskipun masyarakat Arab Jahiliyah masih melakukan beberapa praktik haji, seperti thawaf dan wukuf di Arafah, banyak ritual tersebut telah dicampuri dengan kemusyrikan dan tradisi yang menyimpang. Berhala-berhala diletakkan di sekitar Ka’bah, dan thawaf terkadang dilakukan dengan telanjang. Talbiyah mereka pun mengandung unsur syirik. Ini adalah bagian kelam dari sejarah ibadah haji sebelum dimurnikan kembali.
Haji dalam Islam: Pemurnian dan Peneguhan Syariat
Kedatangan Nabi Muhammad SAW membawa rahmat bagi seluruh alam dan memurnikan kembali ajaran tauhid, termasuk ibadah haji. Haji dalam Islam dikembalikan kepada syariat Nabi Ibrahim AS yang lurus. Berhala-hala dihancurkan, dan semua praktik kemusyrikan dihapuskan. Sejarah ibadah haji dalam Islam ditandai dengan peneguhan kembali nilai-nilai tauhid.
Sejak kapan ibadah haji dilaksanakan dengan syariat Islam yang murni? Ini terjadi secara bertahap, puncaknya adalah pada saat Haji Wada’ (haji perpisahan) Nabi Muhammad SAW pada tahun 10 Hijriyah. Pada momen tersebut, Rasulullah SAW mempraktikkan manasik haji secara lengkap dan bersabda, “Ambillah dariku manasik hajimu1.”
Ritual Haji: Mengenang Jejak Para Nabi
Setiap ritual haji memiliki makna dan sejarah yang mendalam. Ibadah haji sebagian besar berawal dari kisah keteladanan Nabi Ibrahim AS, istrinya Siti Hajar, dan putranya Nabi Ismail AS.
Asal Usul Ibadah Haji dalam Setiap Manasik
- Thawaf: Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, meniru gerakan para malaikat yang berthawaf di Baitul Ma’mur dan sebagai penghormatan kepada rumah Allah yang pertama kali didirikan untuk manusia2.
- Sa’i: Berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, mengenang perjuangan Siti Hajar mencari air untuk Nabi Ismail AS yang kehausan. Ini adalah salah satu ritual ibadah haji adalah untuk mengenang dan mencontoh sejarah nabi dan keluarganya.
- Wukuf di Arafah: Berdiam diri di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, merupakan puncak ibadah haji. Di tempat inilah Nabi Adam AS dan Hawa konon dipertemukan kembali setelah diturunkan ke bumi. Ini juga tempat Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah terakhirnya.
- Mabit di Muzdalifah dan Mina: Bermalam di Muzdalifah dan Mina adalah bagian dari rangkaian ibadah haji.
- Melontar Jumrah: Melempar batu ke tiga tiang jumrah (Ula, Wustha, dan Aqabah) melambangkan perlawanan Nabi Ibrahim AS terhadap godaan setan yang mencoba menghalanginya melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail AS.
Syariat Ibadah Haji Dimulai Sejak Zaman Nabi Ibrahim
Penegasan bahwa syariat ibadah haji dimulai sejak zaman nabi Ibrahim AS sangat penting. Ini menunjukkan kesinambungan ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi. Meskipun ada periode penyimpangan, inti ajaran dan perintah haji tetap berasal dari beliau. Ibadah haji pertama kali dilaksanakan pada zaman Nabi Ibrahim AS menjadi tonggak sejarah yang terus dikenang.
Kesinambungan Ibadah Haji Hingga Kini
Sejak disyariatkan, ibadah haji terus dilaksanakan oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia, meskipun sempat terhenti atau dibatasi dalam kondisi tertentu seperti peperangan atau wabah.
Sejak Kapan Ibadah Haji Dilaksanakan Secara Berkelanjutan?
Setelah pemurnian oleh Nabi Muhammad SAW, pelaksanaan ibadah haji terus berlangsung setiap tahunnya. Sejak kapan ibadah haji dilaksanakan secara berkelanjutan dalam syariat Islam adalah sejak masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Para khalifah setelah beliau pun memberikan perhatian besar terhadap penyelenggaraan ibadah haji.
Ibadah Haji Sebagian Besar Berawal dari Kisah Keteladanan
Memahami bahwa ibadah haji sebagian besar berawal dari kisah para nabi, khususnya keluarga Nabi Ibrahim AS, memberikan dimensi spiritual yang lebih dalam. Setiap langkah, setiap gerakan, dan setiap doa dalam ibadah haji adalah refleksi dari ketaatan, pengorbanan, dan kepasrahan mereka kepada Allah SWT.
Sejarah Ibadah Haji Singkat: Poin-Poin Penting
Untuk memberikan gambaran ringkas, berikut adalah poin-poin penting dalam sejarah ibadah haji singkat:
- Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS: Membangun Ka’bah dan menyerukan manusia untuk berhaji.
- Seruan Universal: Panggilan haji Nabi Ibrahim AS didengar dan dijawab oleh jiwa-jiwa di seluruh alam.
- Praktik Awal: Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS melaksanakan manasik haji.
- Penyimpangan Pra-Islam: Ritual haji tercemari kemusyrikan dan tradisi Jahiliyah.
- Pemurnian oleh Nabi Muhammad SAW: Mengembalikan haji kepada syariat Nabi Ibrahim AS yang murni.
- Haji Wada’: Nabi Muhammad SAW mempraktikkan haji secara sempurna, menjadi teladan bagi umat Islam.
- Kesinambungan: Ibadah haji terus dilaksanakan oleh umat Islam hingga saat ini.
Makna dan Relevansi Abadi Ibadah Haji
Sejarah ibadah haji yang panjang dan agung menunjukkan betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam. Ia bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga transformasi spiritual. Haji mengajarkan tentang kesetaraan, kesabaran, pengorbanan, dan ketaatan total kepada Allah SWT.
Memahami sejarah awal ibadah haji dan sejarah disyariatkannya ibadah haji akan membuat setiap Muslim semakin menghargai dan merindukan kesempatan untuk menjadi tamu Allah di Tanah Suci.
al-Azraqī, Abū al-Walīd Muḥammad ibn ʿAbd Allāh ibn Aḥmad. Akhbār Makkah wa Mā Jāʾa Fīhā min al-Āthār. Edited by Rushdī al-Ṣāliḥ Malḥas. 3rd ed. Beirut, Lebanon: Dār al-Andalus, 1983. Vol. 1, p. 175.
al-Ālūsī, Abū al-Faḍl Shihāb al-Dīn al-Sayyid Maḥmūd al-Baghdādī. Rūḥ al-Maʿānī fī Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm wa al-Sabʿ al-Mathānī. Edited by ʿAlī ʿAbd al-Bārī ʿAṭiyyah. 1st ed. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1994. Vol. 9, pp. 136–137.
- خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
(HR. Muslim) ↩︎ - ثبت في الصحيحين أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في حديث الإسراء بعد مجاوزته إلى السماء السابعة: “ثم رفع بي إلى البيت المعمور، وإذا هو يدخله كل يوم سبعون ألفاً لا يعودون إليه آخر ما عليهم”
يعني: يتعبدون فيه، ويطوفون به كما يطوف أهل الأرض بكعبتهم، كذلك ذاك البيت المعمور هو كعبة أهل السماء السابعة، ولهذا وجد إبراهيم الخليل عليه الصلاة والسلام مسنداً ظهره إلى البيت المعمور؛ لأنه باني الكعبة الأرضية، والجزاء من جنس العمل، وهو بحيال الكعبة، وفي كل سماء بيت يتعبد فيه أهلها، ويصلون إليه، والذي في السماء الدنيا يقال له: بيت العزة، والله أعلم. اهـ تفسير ابن كثير ↩︎