Bicara soal perceraian dalam islam, banyak yang langsung teringat hadis populer bahwa talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. Anggapan ini benar, tetapi tidak sepenuhnya menggambarkan keseluruhan gambarannya. Hukum cerai dalam islam ternyata jauh lebih detail dan tidak bisa dipukul rata untuk semua kondisi.
Cerai dalam islam bukanlah sebuah jalan buntu yang hitam-putih, melainkan sebuah pintu darurat yang penggunaannya diatur dengan sangat saksama. Cerai adalah melepaskan ikatan pernikahan, sebuah tindakan serius yang status hukumnya bisa berubah dari wajib hingga haram, tergantung pada alasan dan situasinya. Mari kita bedah lebih dalam mengenai hukum perceraian menurut islam.
Dalil Cerai dalam Islam: Memahami Hadis yang Populer
Salah satu dalil cerai dalam islam yang paling sering dikutip adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
أبغض الْحَلَال إِلَى الله الطَّلَاق
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.”
Hadis tentang perceraian ini seringkali menjadi landasan utama untuk mencegah terjadinya perpisahan. Maknanya sangat dalam. Kata “halal” menunjukkan bahwa perceraian itu diperbolehkan dan menjadi solusi yang sah. Namun, frasa “paling dibenci” menegaskan bahwa Allah tidak menyukai perbuatan ini karena dampaknya yang besar: memutus tali pernikahan yang suci, berpotensi memutus keturunan, dan dapat menyakiti perasaan pasangan, anak, serta keluarga besar. Inilah mengapa hukum asal cerai talak adalah makruh atau dibenci jika tanpa alasan yang kuat.
5 Status Hukum Talak dalam Islam
Untuk memahami hukum talak dalam islam secara utuh, kita perlu melihat penjelasannya dalam kitab-kitab fikih. Salah satunya dari ulama besar Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani, dalam kitabnya Nihāyat az-Zayn. Beliau menjelaskan bahwa talak bisa memiliki lima status hukum yang berbeda.
Talak Wajib: Ketika Perceraian Menjadi Keharusan
Dalam kondisi tertentu, mempertahankan pernikahan justru mendatangkan dosa atau mudarat. Di sinilah cerai talak menjadi wajib. Contohnya:
- Kasus Ila’: Ketika suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya lebih dari empat bulan dan ia tidak mau kembali setelah batas waktu itu habis. Hakim akan mewajibkan suami untuk mentalak istrinya demi mengakhiri status istri yang terkatung-katung.
- Kasus Syiqaq: Terjadi konflik rumah tangga yang sangat hebat dan tidak bisa didamaikan. Jika dua mediator (hakam) dari kedua belah pihak memutuskan bahwa perceraian adalah jalan terbaik, maka talak menjadi wajib untuk dilaksanakan.
Talak Haram: Kapan Menceraikan Istri Jadi Dosa?
Ada beberapa cara menceraikan istri yang justru diharamkan dan membuat suami berdosa, meskipun talaknya tetap dianggap jatuh.
- Cerai Saat Istri Haid (Talak Bid’i): Mentalak istri ketika ia sedang dalam kondisi menstruasi adalah haram. Alasan utamanya adalah karena ini akan memperpanjang masa iddah sang istri. Begitu pula mentalaknya saat ia dalam masa suci yang di masa suci itu sudah terjadi hubungan suami-istri.
- Niat Buruk: Menjatuhkan talak pada istri saat suami sedang sakit parah dengan niat agar sang istri tidak mendapatkan hak waris.
- Tidak Adil dalam Poligami: Mentalak istri sebelum gilirannya bermalam ditunaikan dengan sempurna.
Talak Mandub: Saat Berpisah Adalah Pilihan yang Dianjurkan
Terkadang, perpisahan menjadi pilihan yang lebih baik (dianjurkan) daripada melanjutkan pernikahan yang penuh mudarat. Cerai talak adalah jalan keluar yang dianjurkan jika:
- Suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri.
- Suami sama sekali tidak memiliki hasrat atau kecenderungan pada istrinya.
- Istri memiliki akhlak yang sangat buruk hingga suami tidak sanggup lagi menanggungnya.
- Istri tidak menjaga kehormatannya, dengan catatan jika dicerai ia tidak dikhawatirkan akan berbuat lebih lacur.
Talak Makruh: Hukum Asal Perceraian
Inilah hukum asal dari talak. Jika sebuah pasangan tidak memiliki masalah berat dan sang istri adalah wanita yang baik (mustaqīmah al-ḥāl), maka mentalaknya tanpa alasan yang kuat hukumnya makruh. Ini sejalan dengan hadis “perkara halal yang paling dibenci Allah”.
Talak Mubah: Perceraian yang Diperbolehkan
Talak menjadi mubah (diperbolehkan, tidak dianjurkan dan tidak juga dibenci) ketika suami tidak lagi memiliki hasrat penuh pada istrinya dan merasa berat untuk terus menafkahinya tanpa mendapatkan kepuasan batin. Dalam situasi ini, bercerai dipandang sebagai pilihan netral.
Rujukan dari Kitab Fikih Klasik
Penjelasan detail mengenai lima status hukum ini bukanlah karangan modern, melainkan berakar kuat pada khazanah keilmuan Islam. Berikut adalah kutipan asli dari kitab Nihāyat az-Zayn fī Irshād al-Mubtadiʾīn (halaman 320-321) karya Syaikh Nawawi al-Bantani yang menjadi dasar pembahasan ini:
فصل فِي الطَّلَاق
وَهُوَ حل عقد النِّكَاح بِلَفْظ طَلَاق وَنَحْوه وتعتريه الْأَحْكَام الْخَمْسَة فَيكون وَاجِبا كَطَلَاق الْمولي والحكمين فِي الشقاق وَيكون حَرَامًا كالبدعي وَهُوَ طَلَاق مَدْخُول بهَا فِي حيض بِلَا عوض مِنْهَا أَو فِي طهر جَامعهَا فِيهِ وكطلاق من لم يسْتَوْف قسمهَا وكطلاق الْمَرِيض بِقصد حرمَان الزَّوْجَة من الْإِرْث وَيكون مَنْدُوبًا كَطَلَاق الْعَاجِز عَن الْقيام بِحُقُوق الزَّوْجِيَّة أَو من لَا يمِيل إِلَيْهَا بِالْكُلِّيَّةِ… وَيكون مَكْرُوها كَطَلَاق مُسْتَقِيمَة الْحَال… وَيكون مُبَاحا كَطَلَاق من لَا يشتهيها شَهْوَة كَامِلَة وَلَا تسمح نَفسه بمؤنتها من غير تمتّع بهَا1
Jelaslah bahwa hukum cerai dalam islam adalah sebuah topik yang sangat terperinci. Islam menyediakan jalan keluar berupa perceraian, namun mengaturnya dengan sangat ketat untuk memastikan jalan ini hanya ditempuh ketika benar-benar dibutuhkan dan tidak menjadi alat untuk menzalimi pihak lain. Sebelum mengambil keputusan besar, berkonsultasi dengan ahli agama atau lembaga pernikahan adalah langkah yang sangat bijaksana.
Kesimpulan
Cerai adalah tindakan yang sah secara syariat, tapi tidak boleh dilakukan sembarangan. Dalam Islam, hukum cerai sangat fleksibel, tergantung niat dan kondisi. Dalam beberapa kasus, bisa menjadi wajib, makruh, bahkan haram.
Bagi Anda yang sedang menghadapi persoalan rumah tangga, penting untuk memahami cara bercerai yang benar, dan tetap berpegang pada dalil cerai dalam Islam yang jelas.
“Talak yang benar adalah talak yang dilakukan sesuai tuntunan syariat, bukan karena emosi sesaat.”
Catatan Kaki & Referensi
- Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihāyat az-Zayn fī Irshād al-Mubtadiʾīn, cet. 1 (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 320-321. ↩︎