Dasar Hukum Haji dan Umroh dalam Islam
Dasar Hukum Haji dan Umroh dalam Islam. Imge generated by AI

Dasar Hukum Haji dan Umroh dalam Islam

Ibadah haji dan umroh menempati posisi istimewa dalam hati setiap Muslim. Keduanya merupakan perjalanan spiritual menuju Baitullah di Mekah Al-Mukarramah, sarat dengan nilai-nilai ketaatan dan penghambaan kepada Allah SWT.

Memahami dasar hukum haji dan hukum umroh menjadi landasan penting bagi umat Islam sebelum merencanakan dan melaksanakan kedua ibadah mulia ini. Artikel ini akan menjelaskan secara rinci mengenai status hukum keduanya, didasarkan pada sumber-sumber otoritatif dalam fiqih Islam.

Pendahuluan: Kedudukan Ibadah Haji dan Umroh dalam Syariat Islam

Sebelum membahas lebih jauh mengenai dasar hukum haji dan umrah, penting untuk mengetahui posisi kedua ibadah ini. Haji merupakan salah satu dari lima pilar utama Islam, yang dikenal sebagai Rukun Islam kelima.

Hal ini menunjukkan betapa fundamentalnya ibadah haji bagi kesempurnaan seorang Muslim. Sementara itu, umroh, sering disebut sebagai “haji kecil”, juga memiliki keutamaan dan kedudukan tersendiri dalam syariat. Banyak umat Islam mendambakan untuk dapat melaksanakan umroh dan haji sebagai wujud ketaatan dan pencarian ridha Ilahi.

Hukum Haji: Kewajiban bagi yang Mampu

Pelaksanaan ibadah haji memiliki ketentuan hukum yang jelas dan disepakati oleh mayoritas ulama. Memahami status ini krusial bagi setiap Muslim.

Status Hukum Haji dalam Islam

Secara syar’i, hukum haji adalah fardhu ‘ain, yakni kewajiban individual bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Penegasan ini termaktub dalam berbagai literatur fiqih, salah satunya dalam kitab Fiqh Manhaji juz 2 halaman 115:

١ـ حكم الحج ودليله: الحج فرض باتفاق المسلمين، وركن من أركان الإسلام، لم يخالف في ذلك، أحد من المسلمين، ودليله: الكتاب، السنة، الإجماع.

Terjemahan: “1. Hukum Haji dan Dalilnya: Haji adalah fardhu (wajib) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dan merupakan salah satu rukun Islam. Tidak ada seorang pun dari ulama muslimin yang menyelisihinya. Dalilnya adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’.”

Dari kutipan tersebut, jelas bahwa wajib haji merupakan konsensus (ijma’) di kalangan ulama Islam. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai kewajiban ini. Penekanan utama adalah pada konsep “bagi yang mampu” atau istitha’ah, yang akan dijelaskan lebih lanjut melalui dalil-dalilnya. Jadi, Haji bagi yang mampu adalah sebuah keniscayaan syar’i.

Dasar Hukum Haji (Dalil Haji) yang Mendasari Kewajiban

Kewajiban haji tidak berdiri tanpa landasan. Terdapat dalil haji yang kuat dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ para ulama.

Dalil dari Al-Qur’an

Sumber utama penetapan hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an. Mengenai kewajiban haji, Allah SWT berfirman:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكاً وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ* فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِناً وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
(QS. Ali Imran: 96-97)

Terjemahan: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Ayat ini secara eksplisit menyatakan frasa “وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً” (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah). Inilah dasar hukum haji yang paling fundamental.

Dalil dari As-Sunnah

Selain Al-Qur’an, As-Sunnah atau hadis Nabi Muhammad SAW juga menjadi dalil haji. Salah satu hadis yang paling populer adalah hadis mengenai Rukun Islam:

“بني الإسلام على خمسٍ: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلاً”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA)

Terjemahan: “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”

Hadis ini menegaskan kembali posisi haji sebagai salah satu pilar agama dan mengaitkannya dengan kemampuan (istitha’ah).

Dalil dari Ijma’ Ulama

Kesepakatan para ulama (Ijma’) juga mengukuhkan kewajiban haji. Sebagaimana disebutkan dalam Fiqh Manhaji:

وأما الإجماع: فقد اتفقت علماء المسلمين على فرضيته من غير أن يشذ منهم أحد، ولذلك حكموا بكفر جاحده لأنه إنكار لما ثبت بالقرآن، والسنة، والإجماع

Terjemahan: “Adapun Ijma’: Para ulama kaum muslimin telah sepakat atas kewajibannya tanpa ada seorang pun dari mereka yang menyimpang. Oleh karena itu, mereka menghukumi kafir orang yang mengingkarinya karena hal itu merupakan pengingkaran terhadap sesuatu yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’.”

Ijma’ ini menunjukkan betapa pastinya kewajiban haji bagi mereka yang mampu, sehingga mengingkarinya dianggap sebagai perbuatan yang sangat serius.

Hukum Umroh: Tinjauan Fiqih dan Dalilnya

Selain haji, ibadah umroh juga menjadi perhatian umat Islam. Bagaimana status hukum umroh? Apakah sama dengan haji?

Status Hukum Umroh dalam Pandangan Ulama

Mengenai hukum ibadah umrah adalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, menurut pandangan yang kuat (al-azhhar) dalam Mazhab Syafi’i, hukum melaksanakan umrah adalah fardhu (wajib) sekali seumur hidup bagi yang mampu, layaknya haji. Kitab Fiqh Manhaji (juz 2, hlm. 116) menyatakan:

٢ـ حكم العمرة ودليلها: العمرة فرض كالحج على الأظهر من قول الإمام الشافعي رحمه الله تعالى. واستدل على ذلك بالكتاب والسنة:

Terjemahan: “2. Hukum Umrah dan Dalilnya: Umrah hukumnya fardhu (wajib) seperti haji menurut pendapat yang lebih jelas (al-azhhar) dari Imam Syafi’i rahimahullahu Ta’ala. Beliau berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Berdasarkan pandangan ini, wajib umroh juga berlaku bagi mereka yang memiliki kemampuan. Meskipun ada ulama dari mazhab lain yang berpendapat hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), pandangan Mazhab Syafi’i ini memiliki dasar argumen yang kuat.

Dasar Hukum Umroh (Dalil Umroh) dalam Perspektif Mazhab Syafi’i

Pendapat yang menyatakan hukum umrah adalah wajib, khususnya dalam Mazhab Syafi’i, juga bersandar pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalil dari Al-Qur’an

Dalil umroh dari Al-Qur’an yang sering dirujuk adalah firman Allah SWT:

{وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ}
(QS. Al-Baqarah: 196)

Terjemahan: “{Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah}.”

Menurut penafsiran Imam Syafi’i dan para pengikutnya, kata “أَتِمُّواْ” (sempurnakanlah) dalam ayat ini mengandung makna perintah untuk melaksanakan keduanya secara sempurna, yang berarti juga mencakup perintah untuk mengerjakannya. Penyandingan perintah haji dan umrah dalam satu ayat ini menjadi salah satu argumen atas kewajiban umrah. Ini menjadi salah satu dasar hukum haji dan umrah yang sering dikaji.

Dalil dari As-Sunnah

Terdapat juga hadis Nabi Muhammad SAW yang dijadikan dalil umroh. Salah satunya adalah riwayat dari Sayyidah Aisyah RA:

فيما رواه ابن ماجه والبيهقي وغيرهما بأسانيد صحيحة عن عائشة رضي الله عنهما قالت: قلت يا رسول الله: هل على النساء جهاد؟ قال: “نعم جهاد لا قتال فيه: الحج والعمرة

Terjemahan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al-Baihaqi, dan lainnya dengan sanad-sanad yang shahih dari Aisyah RA, ia berkata: Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah wanita wajib berjihad?’ Beliau menjawab, ‘Ya, (bagi mereka) jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya: Haji dan Umrah’.”

Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menyamakan haji dan umrah sebagai bentuk jihad bagi perempuan. Karena jihad (dalam konteks tertentu) bisa bermakna wajib, maka penyebutan umrah bersama haji dalam jawaban tersebut dijadikan argumen bahwa umrah juga memiliki status kewajiban yang serupa dengan haji, setidaknya bagi perempuan, dan diqiyaskan juga bagi laki-laki oleh sebagian ulama.

Perbedaan dan Persamaan Mendasar antara Umroh dan Haji

Meskipun umroh dan haji sama-sama merupakan ibadah penting yang dilakukan di Tanah Suci, terdapat beberapa perbedaan mendasar. Haji memiliki waktu pelaksanaan yang spesifik (bulan-bulan haji, puncaknya pada Dzulhijjah) dan rukun yang lebih banyak, termasuk wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melontar jumrah.

Sementara itu, Umroh sepanjang tahun dapat dilaksanakan, artinya tidak terikat waktu tertentu kecuali pada hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Rukun umroh juga lebih sedikit, yaitu ihram, thawaf, sa’i, dan tahallul (mencukur atau memotong rambut).

Persamaannya, keduanya membutuhkan niat ihram dari miqat, thawaf mengelilingi Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta diakhiri dengan tahallul. Keduanya juga sama-sama disyariatkan bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial, serta aman dalam perjalanan. Pemahaman akan dasar hukum haji dan umrah memperkuat motivasi untuk melaksanakannya.

Implikasi dan Hikmah di Balik Kewajiban Haji dan Umroh

Penetapan hukum haji sebagai kewajiban dan pandangan kuat mengenai wajib umroh bukan tanpa hikmah. Di antara hikmahnya adalah:

  • Penguatan Tauhid: Seluruh rangkaian ibadah haji dan umroh berpusat pada pengesaan Allah SWT.
  • Persatuan Umat Islam: Jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di satu tempat dengan tujuan yang sama, mengenakan pakaian ihram yang seragam, tanpa memandang status sosial, ras, atau kebangsaan.
  • Mengenang Jejak Para Nabi: Banyak ritual haji dan umroh yang mengingatkan pada perjuangan Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Nabi Ismail AS, serta Nabi Muhammad SAW.
  • Pengampunan Dosa: Terdapat banyak dalil yang menyebutkan bahwa haji mabrur akan mendapatkan balasan surga dan pengampunan dosa.
  • Latihan Kesabaran dan Disiplin: Pelaksanaan haji dan umroh membutuhkan kesabaran, kekuatan fisik, dan kedisiplinan dalam mengikuti manasik.

Penutup

Memahami bahwa hukum haji adalah fardhu ‘ain bagi yang mampu dan adanya pandangan kuat bahwa hukum melaksanakan umrah adalah wajib merupakan pengetahuan dasar yang penting bagi setiap Muslim. Dengan mengetahui dalil haji dan dalil umroh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, diharapkan kesadaran untuk menunaikan kedua ibadah mulia ini semakin meningkat, terutama bagi mereka yang telah Allah berikan kemampuan. Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk menjadi tamu Allah di Baitullah dan melaksanakan umroh dan haji dengan mabrur.

Khin, Muṣṭafā al-, Muṣṭafā Dīb al-Bughā, dan ʿAlī ash-Sharbajī. Al-Fiqh al-Manhaji. Vol. 2. Damascus: Darul Qalam, 1992, 115.